Friday, November 19, 2010

Racauan dari Rumah Saya, Indonesia!

Desa Pelita, 17 November 2010

Seperti yang sudah saya ceritakan di postingan sebelumnya, setahun kedepan ini saya akan tinggal dan mengajar di sebuah desa bernama Pelita yang terletak di kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Untuk mencapainya dari Jakarta, saya harus naik Pesawat selama 4,5 jam dari Soekarno-Hatta menuju Bandara Sultan Babullah, Ternate, lalu disambung 8 jam perjalanan laut dari Ternate ke Pelabuhan Babang di pulau Bacan menggunakan kapal umum. Setelah itu masih harus dilanjutkan perjalanan darat sekitar 30 menit menggunakan mobil ke Ibu kota kabupaten, Labuha. Perjalanan belum selesai. Dari Labuha, untuk mencapai Desa Pelita yang terletak di Pulau Mandioli Kecamatan Mandioli Utara, saya harus kembali menempuh perjalanan laut menggunakan longboat umum yang hanya ada hari senin dan kamis yang biasanya ditempuh dalam waktu 1,5 – 2 jam tergantung keadaan gelombang laut, barulah saya sampai di dermaga Desa Pelita. Pelita adalah sebuah Desa kecil di pesisir pulau Mandioli yang hanya bisa diakses melalui dermaganya saja. Tidak ada jalan darat yang menghubungkan Pelita dengan desa-desa lain di sekitarnya. Akses kemanapun dari Pelita harus menggunakan jalur laut. Sungguh unik dan baru bagi saya.

Mengingat Pelita akan jadi rumah saya yang baru, saya ingin menuliskan beberapa hal tentang pelita dan keluarga baru saya. Sebelum menulis tulisan ini, saya berusaha membuat poin-poin tentang apa saja yang ingin saya tuliskan. Tapi sepertinya terlalu banyak. Saya putuskan untuk mulai menulis saja. Kita lihat apa yang akan mengalir. Hehe 

Saya akan mulai dari keluarga baru saya, keluarga Bapak Rusdi Saleh. Saya tinggal di rumah Kepala sekolah SDN Ambatu Pelita –begitu nama sekolahnya- yang memiliki seorang isteri dan empat orang anak, tiga laki-laki dan satu perempuan. Anaknya yang paling besar tinggal dan kuliah di Ternate, yang kedua sedang menunggu test masuk Polisi Desember ini, Khairil namanya. Dia berusia 19 tahun, lebih tua sedikit dari adik saya. Yang ketiga, Haiba, masih sekolah SMP kelas 2 di Pelita dan yang paling kecil bernama Galang. Sejak hari pertama saya tinggal disini, Galang ini langsung nempel kemanapun saya pergi. Untuk anak berumur 3 tahun, Galang tergolong cerdas dan cepat belajar. Semua mainannya –tentunya mainan tradisional seperti sumpit bambu dan roda-roda- dia perbaiki sendiri. Sekali waktu saya perhatikan ayahnya sedang berusha memperbaiki sumpit bambunya yang macet. Setelah memperhatikan bagaimana teknik ayahnya memperbaiki, Galang langsung merebut sumpit yang belum selesai diperbaiki itu dan mulai memperbaikinya sendiri, sampai berhasil.

Keluarga ini hangat. Setiap malam kami makan bersama di ruang makan. Walaupun tanpa TV karena genset tidak cukup daya, makan malam kami selalu penuh dengan obrolan dan candaan khas orang Maluku. Ibu Rusdi, ibu angkat saya ini jago masak. Menu standar adalah ikan, karena memang inilah makanan orang pesisir. Tapi setiap hari selalu ikan yang berbeda dan dimasak dengan cara yang berbeda. Yang saya ingat dan paling unik adalah ikan di fufu, ini bahasa lokal untuk memanggang ikan. Di kota saya juga pernah makan ikan panggang, tapi siapa yang pernah setiap hari makan ikan segar yang baru dipancing hari itu juga?hehe. Makanan pokok disini ada empat macam, selain nasi, ada juga pisang rebus, singkong rebus atau biasa disebut orang sini kasbi, dan sagu. Saya sudah pernah mencoba makan ikan dengan semua makanan pokok tadi, semuanya enak kecuali sagu. Sebenarnya bukan rasanya yang tidak enak, tapi karena saya belum terbiasa jadinya kerongkongan saya selalu terasa kasar tiap kali habis makan sagu. Oh satu lagi, setiap waktu makan pasti tersedia sambal! Ini yang bikin saya sumringah dan selalu ingat sambal bikinan mama .

Hari minggu kemarin kami sekeluarga naik ketingting –istilah untuk perahu kecil selebar setengah meter yang digerakkan dengan motor kecil- ke pulau Ambatu di seberang Pelita. Sedikit sejarah, pulau Ambatu ini adalah asal Desa Pelita sebelum 1978. Lalu karena penduduk Pelita semakin banyak dan pulau Ambatu yang hanya berukuran dua kali lapangan sepak bola itu sudah terlalu padat, maka mereka hijrah ke Pulau Mandioli, tempat Pelita sekarang berada. Hari itu kami berangkat dari Pelita jam 9 pagi. Satu perahu itu muat untuk Pak Rusdi, istrinya, adik Pak Rusdi, Haiba, Galang dan saya. Di perjalanan melewati selat kecil antara dua pulau itu, ketingting kami melewati serombongan penyu besar yang sedang mengambil udara ke permukaan, pemandangan yang belum ppernah saya saksikan langsung. Penyu-penyu besar itu seketika menenggelamkan dirinya begitu saya mencoba menggapai tempurung mereka dari atas ketingting. Perjalanan 15 menit itu terasa seru karena selain pemandangan, ke-seru-an lain berasal dari ketingting yang sepertinya agak overload sehingga hampir tenggelam.

Di Ambatu ternyata Pak Rusdi dan adiknya mengembangkan budi daya rumput laut. Begitu sampai mereka langsung menyelam di pantai di sepanjang rumput laut yang mereka budidayakan. Sementara itu, Ibu Rusdi menyiapkan beberapa lembar daun pisang sebagai alas makan pengganti taplak meja di pinggir pantai, ya, dia sudah menyiapkan makan siang untuk kami semua. Haiba dan Galang asik bermain air dan saya asik mengamati pulau kosong itu. Terlihat bukan hanya Pak rusdi yang memanfaatkan pulau itu di Pelita. Banyak warga Pelita yang sering kesana untuk berkebun, memanen kelapa,mengambil pasir,dsb. Setelah sekitar 2 jam Pak Rusdi dan adiknya bermain rumput laut, kami semua berkumpul untuk makan siang, seperti orang sedang piknik. Setelah makan siang, saya keatas kayu-kayu yang condong ke laut yang saya pikir adalah bekas dermaga di ambatu yang sudah tidak berfungsi. Dari atas kayu-kayu itu saya bisa melihat dengan jelas ke bawah air yang bening. Yang saya lihat seperti layaknya akuarium yang penuh dengan karang dan ikan hias. Laut di kelpulauan Halmahera selatan memang airnya jernih. Dari jauh hanya terlihat warna hijau atau biru. Sebelum kembali ke Pelita, adik pak rusdi iseng-iseng bacigi ikan dan mendapat 4 ekor ikan sako besar-besar. Rencana pulang pun mundur karena ibu langsung dengan cekatan mengolah ikan-ikan itu jadi ikan bakar yang enak dan menjadi menu makan siang kedua kami.

Berikutnya saya ingin cerita tentang penduduk Desa Pelita. Setiap saya jalan-jalan di desa, orang-orang selalu menyapa dengan “pak Guru!” atau “ingku!”, dengan logat maluku tentunya, yang membuat orang baru atau yang tidak terbiasa dengan logat ini akan merasa sedang dimarahi. Kalau istilah anak-anak di Bandung, “manggilnya super ga nyantai!”,haha. Tapi sebetulnya orang sini sangat ramah terhadap pendatang terlebih dengan profesi guru. Setiap ada kesempatan, orang-orang selalu ingin bertanya tentang apapun tentang saya. Orang Pelita senang ngobrol. Kebanyakan penduduk Pelita keturunan Ternate sehingga bahasa sehari-harinya ada dua : bahasa pasar yang masih ada kata-kata bahasa Indonesianya dan bahasa Ternate yang berbeda sepenuhnya dengan bahasa Indonesia. Bahasa pasar sudah bisa saya pakai sedikit-sedikit dengan logat maluku karena cukup mudah dimengerti. Kata-kata yang huruf akhirnya ‘T’ tidak dibaca huruf akhirnya. Seperti: ka lau, ka dara, cepa dan saki. Yang artinya: ke laut, ke darat, cepat dan sakit. Lalu kata-kata yang berakhiran ‘N’ dibaca ujungnya dengan ‘NG’, seperti: makang ikang, hujang dan pulo Bacang. Yang artinya : makan ikan, hujan dan pulau Bacan. Seperti bahasa Batak, huruf ‘E’ pada sebagian besar kata juga dibaca sebagai ‘E’ keras. Karena saya memang senang belajar bahasa daerah, orang-orang bersemangat mengajari saya Bahasa ternate. By the end of this one year, i think i will be able to speak Ternates .

Desa Pelita topografinya landai sehingga aliran air bersih dan drainase bisa dialirkan secara gravitasi. Dari dermaga hanya ada satu jalan utama lurus menuju darat sekitar 150 meter, lalu ada cabang-cabang ke kiri dan kanan dari jalan utama itu. Disanalah rumah-rumah penduduk dibangun sejak 1978. Satu-satunya sumber sinyal hanya di dermaga, itupun kalau beruntung. Saya harus ke ujung dermaga bebentuk huruf ‘T’ untuk menemukan sinyal handphone. Setiap malam sehabis makan malam saya harus ke dermaga untuk sekedar menerima akumulasi sms seharian dan email (ini dia yang saya bilang kalau beruntung: sinyal GPRS). Karena pusat komunikasi Halsel Elite Squad ada di Labuha yaitu Ayu, maka saya harus membuat SOP ini supaya saya tetap bisa dihubungi atau menghubungi watchtower. Awalnya saya pikir akan sedikit menyeramkan berdiri sendirian di ujung dermaga yang menghadap ke laut malam-malam di desa yang tidak berlistrik. Pun ada yang punya genset di desa, dermaga pelita tetap tanpa penerangan malam. Tapi ternyata dermaga Pelita malam hari punya daya tariknya sendiri. Karena berada di wilayah kepulauan ditambah letaknya yang di teluk, air laut malam di bawah dermaga pelita sangat tenang tanpa gelombang. Bahkan seperti air di danau. Tidak ada bunyi gemericik air sedikit pun, yang ada hanya bunyi ikan-ikan yang sesekali melompat ke permukaan. Ada perbedaan bulan di kota besar dengan bulan di desa pelosok seperti Pelita ini. di kota mungkin kita Cuma tau ada bulan purnama, setengah dan sabit. Tapi di desa seperti Pelita, cahaya bulan di malam hari sangat terasa. Bahkan katanya, jika purnama tiba orang-orang akan duduk-duduk di dermaga sambil memancing ikan karena ikan-ikan pun bisa terlihat di bawah air saat purnama. Tapi kalau bulan belum purnama seperti sekarang, yang ada di dermaga malam hari cuma saya, mencari sinyal. Remang-remang cahaya bulan cukup untuk menerangi dermaga. Tidak perlu bawa senter atau poci ke dermaga. Oh satu lagi, langit penuh bintang jadi langganan dermaga Pelita malam hari. Bedanya dengan di kota, langit tanpa polusi membuat kelap-kelip bintang makin jelas, tidak sekedar kriyep-kriyep. Ditambah lagi, air laut yang tanpa riak bahkan sampai bisa memantulkan cahaya bintang-bintang. Sama sekali ngga ada serem-seremnya nongkrong di dermaga Pelita malam hari. Yang ada malah betah, hehe.

Pelita memang desa yang Indah. Sedikitpun seperti tidak punya masalah, at least yang terlihat secara fisik selain masalah kekurangan guru. Atau mungkin masalah akses bagi orang-orang yang takut laut seperti ibu saya. Lautnya indah, hutanya kaya, orang-orangnya ramah, keberterimaan tinggi dan bangunan fisik sekolah sudah ada. Tapi seperti juga desa-desa lain di bagian timur Republik ini, pembagian waktu WIB, WITA, dan WIT bagi orang-orang disini bukan sekedar pembagian waktu, tapi juga pagar tak tampak yang membatasi cita-cita anak-anak desa Pelita. Benar apa yang pernah dibilang Pak Anies, bagi saya mungkin Desa Pelita hanyalah 5 jam perjalanan udara sampai Ternate, ditambah 8 jam perjalanan laut sampai Babang, setengah jam perjalanan darat sampai Labuha dan 1,5 jam perjalanan laut sampai Dermaga Pelita. Tapi bagi anak-anak di Desa ini, untuk ke Jakarta bukan hanya soal waktu, untuk ke Jakarta yang menggambarkan pusat kemajuan mereka harus memanjat atau mendobrak dinding-dinding pembatas tak nyata itu. Dan dinding-dinding itu ternyata cukup untuk membuat mereka merasa jauh dari kemajuan dan pasrah dengan keadaanya. Cukuplah, toh ikan untuk makan sehari-hari pun sudah akan lompat dengan sendirinya ke dermaga tanpa dipancing. Ditambah kualitas pendidikan di “timur” ini memang jelas jauh dari di Jawa. Bagaimana tidak, dari jumlah guru saja jelas kurang. Belum lagi pelatihan-pelatihan untuk guru yang tidak segencar di Jawa. Lengkaplah sudah.

Tantangan besar saya disini adalah meyakinkan mereka kalau dinding itu tidak ada. Saya mau tidak mau harus bisa menjadi contoh seorang manusia maju yang bisa diterima di pelosok Republik seperti Pelita ini. Karena dengan begitu saya bisa lebih mudah meyakinkan anak-anak untuk bisa menggantungkan cita-cita mereka setinggi mungkin. Yang saya rasakan sekarang adalah ekspektasi yang sangat tinggi dari lingkungan. Baik dari semua orang yang mengetahui keberadaan saya disini sampai orang-orang Pelita yang menyangka saya bisa melakukan semua hal. Secara teknis, itu adalah tekanan bagi semua Pengajar Muda. Tapi saya –dan saya harap semua PM-, memilih menjadikan ini tantangan yang harus kami selesaikan. Saya memilih melihat ekspektasi-ekspektasi itu sebagai ekspektasi Ibu Pertiwi. Ekpektasi akan optimisme Republik ini di masa depan. And i will not give up on it! Jadi jika kemarin kalimat yang saya gunakan saat berpisah dengan teman-teman PM adalah “we will survive”, kalimat itu saya tarik karena yang lebih tepat adalah,”we will win this war!” InsyaAllah.

Cukuplah racauan saya. Banyak yang ingin saya tumpahkan sebenarnya ketika saya sampai disini dan melihat langsung keadaan disini. InsyaAllah saya akan menulis seminggu sekali untuk menceritakan perkembangan di Pelita. Tapi saya tidak bisa menjanjikan posting seminggu sekali mengingat Pelita belum jadi desa Internet. Jadi saya harus menunggu trip ke Labuha baru bisa posting.

Okelah guys, sekian dulu. Stay away from drugs dan patuhi nasihat orang tua :D
Salam hangat dari salah satu ujung Republik, warga DesaPelita, Timur Indonesia.

mari benar-benar hidup

Monday, November 15, 2010

Perjalanan Pengajar Muda Halsel Elite Squad!

Desa Pelita-Halmahera Selatan, 14 November 2010 (09.00 WIT)

Hari ini hari kedua saya di desa Pelita. Tidak butuh sebulan atau dua untuk saya tahu kalau saya akan betah disini. Hari ini saya akan ke pulau Ambatu di seberang pulau Mandioli untuk melihat budidaya rumput laut disana. Tapi pagi ini saya ingin menyempatkan menulis sedikit tentang perjalanan deployment dua hari yang lalu saat semua Pengajar Muda di Kab. Halmahera Selatan diantar sampai desa masing-masing.

12 November kemarin, hari Jumat, dari Labuha kami memulai perjalanan untuk mengantar seluruh tim Halmahera Selatan (HalSel). Kecuali Ayu dan Aisy yang ditempatkan di dua buah desa dekat dengan Labuha dan menggunakan jalan darat, kami berdelapan ditambah Pak Hikmat dan Mas Susilo Berangkat dari Pelabuhan Lama Labuha. Kami menggunakan speedboat sewaan berukuran sedang karena selain harus mengangkut kami bersepuluh juga harus mengangkut barang bawaan kami yang cukup banyak.

Tujuan pertama adalah desanya Dani, Desa Indomut. Diluar bayangan saya, anak2 ternyata sudah menunggu di dermaga desa. Anak-anak berserangam orlahraga SDN Indomut sudah melambai-lambaikan tangannya ke arah speedboat kami. Dari kejauhan Dani keihatan sangan bersemangat untuk sampai ke dermaga itu. Begitu sampai, bak perantau lama yang baru pulang, kami disambut dengan hangat, langsung menuju SD yang terletak di pinggir pantai. Pihak sekolah mengadakan acara penyambutan kecil-kecilan di ruangan dan rombongan pun bergerak untuk mengantar yang lain. Tapi ada satu hal yang menarik, bagitu kami sampai dan bersalam-salaman dengan guru-guru dan penduduk Indomut, ada seorang bapak, besar gelap brewok, sepertinya tidak kuasa menahan air matanya. Saya menangkap ekspektasi yang besar dari air mata dia. Jelas dia menangis karena terharu dan seolah baru mendapat suatu berkah. Mudah-mudahan Dani bisa berbuat banyak disana. Good luck!

Kira-kira 10 menit dari Indomut, speedboat kami sampai di Desa Belang-belang, cara membacanya menggunakan “e” kuat seperti orang batak. Bukan belang-belang seperti membaca warna Zebra. Beda dengan Indomut, kami tidak melihat ada keramaian di dermaga Belang-belang. Ternyata memang penyambutan mungkin belum diadakan hari itu. Kami langsung menuju rumah salah seorang penduduk tempat Hendra (Aheng) akan tinggal setahun ini yang lokasinya berada di belakang SDN Belang-Belang tempat Aheng akan mengajar. Keluarga tempat aheng tinggal sangat ramah. Kami dijamu sedikit disana. Dan setelah Pak Hikmat cuap-cuap sedikit menyerahkan Aheng ke warga Desa Belang-Belang, kami berangkat lagi mengantar yang lain. Break a leg Heng!

Berikutnya adalah Desa Bajo, tempatnya si Ajib (Sabda Aji). Desa ini terletak di Pulau Bajo dan ditempuh selama 15 menit dengan ¬speedboat yang kami gunakan. Desa ini tersusun dengan rumah-rumah penduduk memanjang di pesisir pantainya. Susunan rumah-rumahnya rapi dan tertata dengan baik. Dermaganya bisa saya katakan dermaga paling bagus diantara kami semua dilihat dari sisi ¬pemandangan dari dermaganya dan karang-karang yang bisa terlihat dengan jelas dari dermaganya paling beragam lengkap dengan ikan-ikan hiasnya. Oh, saya lupa menyebutkan bahwa memang air laut di Halsel rata-rata biru dan hijau, bening. Setelah serah terima kecil-kecilan di SDN Bajo, kami melanjutkan perjalanan ke desa berikutnya.

Sawangakar. Ini adalah desa tempat Junarih akan tinggal dan mengajar. Begitu sampai dermaga, kami langsung menuju rumah kepala sekolah yang juga akan menjadi tempat tinggal Jun. Rumahnya terletak di seberang SDN Sawangakar. Sekolah ini menghadap ke pantai dengan pemandangan laut dan pulau-pulau di seberangnya. Waktu kami sampai, anak-anak yang sudah tidak berseragam karena mungkin jam sekolah sudah selesai menyambut dan langsung membantu membawa barang-barang Jun. Di rumah kepala sekolah kami dijamu sedikit sambil Pak Hikmat kembali melakukan serah terima dengan penduduk desa Sawangakar. Sepanjang jamuan di rumah kepsek saya diluar bersama Bayu bermain dengan anak-anak mengajarkan beberapa nyanyian. Entah kenapa saya langsung teringat lirik lagu “Lihat Senyum Mereka” ciptaan BK yang juga merupakan lagu resmi Gerakan Indonesia Mengajar (klaim sepihak :p). Anak-anak ini begitu bersemangat! Tenyata ini binar mata itu, senyum kecil dan canda tawa yang berusaha kami tumpahkan beberapa minggu yang lalu dalam sebuah lagu. Wajah mereka seakan berbicara: “Ayo! Kami siap! Kalian punya apa untuk kami ketahui? ada apa diluar sana? Bagaimana diluar sana?” Di sawangakar, hari itu, saya melihatnya, merasakannya.

Hari itu saya marah, sama rasanya dengan waktu saya menemukan anak-anak di Balikpapan yang sebetulnya sangat cerdas, bersemangat, namun tidak ada yang bisa memancing mereka bermimpi. Tidak ada yang membuat mereka mengenal dunia sehingga mereka bisa bercita-cita. Bahkan sekolah mereka sekalipun. Tapi kami, Gerakan Indonesia Mengajar, telah bersepakat untuk berhenti memaki. Karena sebenarnya sayapun bingung dari dulu, siapa yang harus saya maki atas keadaan ini? So let’s just light the candle!

Perjalanan ke desa terakhir yang bisa saya ceritakan adalah ke Desa Pelita, desa tempat saya sendiri akan tinggal dan mengajar setahun ini. Kami merapat ke Dermaga Pelita sesaat sebelum Shalat Jumat dimulai. Kami langsung menuju masjid. Mungkin penyambutan saya lah yang paling “Islami” karena dilaksanakan di masjid selepas shalat Jumat. Hehe. Setelah itu saya langsung diantar menuju rumah kepala sekolah di seberang masjid tempat saya akan tinggal. Setelah Pak Hikmat melakukan tugasnya, saya mengantar Rahman Adi, Adhi Nugroho, Bayu, Mas Sus dan Pak Hikmat ke dermaga untuk melanjutkan perjalanan mengantar Adi ke Desa Indong yang berjarak sekitar 10 menit dari Pelita.

Cerita tentang Desa Bibinoi tempat Adhi Nugroho dan Bayu, Desa Papaloang tempat Ayu dan Desa Panamboang tempat Aisy tidak bisa saya sampaikan simply karena saya belum kesana dan tidak mengantarkan mereka. Mudah-mudahan di postingan yang lain bisa saya tuliskan. Cerita tentang desa Pelita lebih lengkap dan keluarga baru saya disini juga akan saya tulis di postingan yang lain.

Setahun ini akan menantang dan sangat menarik bagi seluruh Pengajar Muda. Setahun yang harus diiringi keikhlasan dan ketulusan untuk bisa menghasilkan sesuatu. Setahun yang akan sangat berarti bagi diri kami masing-masing.
May God bless us all.
May God bless Indonesia! Amin.

mari benar-benar hidup

Tuesday, November 2, 2010

sumpah pemuda?

“Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, Tanah Air Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.”

Klaim macam apa itu? Siapa yang berani-beraninya membuat sumpah seberat itu? Atau, lihat saja kata-katanya, jangan-jangan itu sumpah serapah hanya agar kita –pemuda pemudi- sekedar mengakui? Tidak lebih..

Ada pula yang lain lagi, beberapa kali kami diingatkan oleh Pak Anies Baswedan, “ini adalah upaya melunasi janji kemerdekaan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa”. Siapa yang berjanji? Bukan saya yang jelas! Bukan kalian atau pak Anis sekalipun! Itu janji Bung Karno, Hatta dan kawan-kawannya pada zaman itu. Sekarang mereka dimana? Kenapa kita yang harus terbebani oleh sumpah-sumpah dan janji-janji itu? Kenapa kita yang tidak diikutsertakan dalam pembahasan rencana pencetusan janji-janji dan sumpah-sumpah itu harus menanggung besarnya tanggungjawab atas kalimat-kalimat itu?

Haha, kalau begitu sekalian saja kita salahkan nabi Adam dan Hawa atas buah Khuldi yang dimakannya. Yang menjerumuskan kita semua ke karut marut kefanaan dunia ini. Jadi kita bisa berlindung dibalik kejadian itu atas dosa-dosa kita. Pada suatu titik dalam hidup saya, pernah terlintas pertanyaan-pertanyaan konyol seperti diatas. Tapi saya sadar ternyata kita hidup sekarang di zaman kita, zaman yang sudah lengkap dengan segala kompleksitasnya. Tidak ada kebebasan untuk kita sebelum terlahir dalam hal memilih zaman yang kita akan hidupi toh? At least menurut apa yang saya yakini. Jadi, mengeluhkan kompleksitas zaman yang kita hidupi sekarang hanyalah akan melemahkan kita. It will just wasting our time energy . Lagi pula, adakah yang salah dari ini janji-janji dan sumpah itu? Saya berani bilang tidak.. Tidak ada yang salah. Itu adalah janji dan sumpah para pemberani di zamannya yang dengan ketulusan hati serta harapan terhadap Indonesia yang akan hidup ribuan tahun lagi. Indonesia maju. Jika kita hidup di masa itu apakah kita tidak akan punya harapan yang sama?

Sebenarnya kita selalu punya pilihan untuk mengambil kalimat-kalimat itu sebagai janji dan sumpah kita juga, atau untuk tidak peduli. Tapi dua pilihan itu jelas punya konsekuensi berbeda. Jika kita melihat itu sebagai sumpah dan janji yang harus ikut kita penuhi juga, maka tanggungjawab kita besar, sangat besar. Yang harus kita pelajari selama hidup untuk bisa mempertanggung jawabkan itu pun sangat banyak. Energi yang perlu kita keluarkan untuk itu pun akan sangat besar. Masalahnya selalu tinggal pada diri kita. Beranikah kita memandang itu sebagai tanggung jawab kita juga? Beranikah kita menerima sumpah dan janji-janji itu selayaknya sumpah dan janji yang kita ucapkan?

Keberanian. Saya yakin satu kata ini yang akan jadi kuncinya. Seorang bijak pernah bilang bahwa republik inipun didirikan oleh para pemberani, orang-orang yang belum pernah punya pengalaman mendirikan republik sebelumnya. Dan sampai kapanpun saya yakin, republik ini butuh pemuda-pemuda pemberani untuk bisa terus maju dan berkembang.

Jadi sekarang mari kita tanya pada diri kita masing-masing, pemberanikah kita? memang, selalu ada pilihan untuk menjawab “saya tidak harus jadi pemberani”, atau “saya tidak mau jadi pemberani”. Tapi mari kita pikirkan sedikit. jika kita terlalu takut untuk menjadi seorang yang berani karena kita sadar apa konsekuensinya, dan kita memilih untuk menutup telinga, mata dan hati untuk menerima sumpah-sumpah dan janji-janji para pendahulu kita tentang republik ini sebagai hutang yang harus dibayar, lalu apa? Jika kita mati kelak, lalu apa? Lalu siapa yang akan melunasinya? Mau berharap pada siapa? Jika tidak bisa menemukan jawabannya, atau tidak cukup tega untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan “ya, yang lain saja”, maka, mari bersama kita pikul tanggungan itu. Mari terus kembangkan potensi diri kita setinggi mungkin karena tenggungan itu ternyata tidak ringan. Tapi jika kita bisa menjawab pertanyaan—pertanyaan itu dengan santai tanpa rasa gelisah, mungkin kita bisa pulang, menarik selimut tinggi-tinggi, lupakan semua masalah bangsa ini.

Tapi saya masih yakin, seperti tulisan pak Anies, para ibu di Nusantara masih melahirkan anak-anak pemberani republik ini. jadi pemberani itu tidak sulit. Saya pikir hanya butuh keberanian. Ya toh?

Selamat hari Sumpah Pemuda,
Semoga Tuhan menjaga hati-hati kita untuk selalu berani, Amin..

mari benar-benar hidup