Sunday, February 13, 2011

Anak Berbahasa Angka

“Pa guru! uba kita pe luka dulu!”
(Pa guru! obati luka saya dulu!)

Itu adalah kalimat yang dulu selalu dilontarkan Upi setiap bertemu saya. Sepertinya, kegiatan saya mengobati luka anak-anak baik yang ringan maupun yang parah begitu menarik buat Upi. Kadang dia membuat gambar di kakinya seolah-olah kakinya luka dan ingin saya obati juga. Upi ini anak kelas 2 SD. umurnya baru 7 tahun. Tingkahnya menunjukkan bahwa dia kurang perhatian dan kasih sayang. Setiap habis solat magrib berjamaah di mesjid, Upi selalu baru berhenti mencium tangan saya saat teman-temannya sudah marah karena dia terlalu lama mencium tangan saya. Setiap habis sholat magrib itu, saya selalu membiarkan Upi mencium tangan saya lama-lama. Ada perasaan kasihan dan simpatik. Sepanjang jalan keluar masjid, Upi selalu merangkul sebelah kaki saya sambil berjalan. Dan sebelum dia pulang, sekali lagi dia pasti bilang, “nanti uba kita pe luka dulu ya pa guru!”

Belakangan saya tahu kalau ternyata Upi ini adik dari Kurdi, salah satu murid saya kelas 5. Itu menjelaskan kenapa Upi selalu ada di momen-momen kelas 5. Di rumah hanya ada neneknya yang sudah sangat tua dan harus mengurus 7 cucu nya. Jadi setiap kali kurdi pergi, Upi selalu ikut. Orang tua kurdi tinggal di Labuha. Saya belum tahu persis kenapa Kurdi dan Upi tidak tinggal bersama kedua orang tuanya di Labuha, tapi yang jelas, Upi dan Kurdi sangat jarang bertemu kedua orang tuanya. Saya pikir keadaan itu cukup menjelaskan kenapa Kurdi tumbuh jadi anak yang sering mencari perhatian di kelas alias bandel dan Upi menjadi manja dan haus kasih sayang. Tapi saya tahu sebenarnya mereka berdua adalah anak-anak yang manis. Buktinya saja setiap malam mereka pasti main ke rumah untuk belajar atau bahkan sekedar ingin tahu apa yang saya kerjakan di kamar. Kalau saya perbolehkan masuk kamar untuk melihat, tanpa saya sadar, sering kali mereka membereskan kamar saya. Terlihat bahwa mereka ingin membuat saya senang.

Tiga hari yang lalu, sore hari saat sedang mengerjakan sesuatu di kamar, tiba-tiba Bahtiar datang nongol di jendela kamar bilang kalau Ayono, ketua kelas 5, kakinya terpotong dan berdarah banyak. Saya langsung berlari ke rumahnya sambil membawa perlengkapan P3K. Ayono, Kurdi dan Upi tinggal satu rumah bersama nenek mereka. Ayono ini sepupu Kurdi dan Upi. Tapi bedanya, orang tua Ayono masih tinggal di pelita. Rumah orang tuanya terletak di pinggir desa sehingga menurut orang tuanya lebih baik Ayono tinggal bersama neneknya di dekat sekolah. Kembali ke kaki terpotong, singkat cerita, karna ternyata ada pembuluh darah yang putus di kaki Ayono sehingga darahnya mengucur deras tidak berhenti, saya memutuskan untuk mengevakuasinya ke Desa tetangga, Indong, yang memiliki fasilitas Puskesmas dan perawat. Lukanya harus dijahit. Saya meminjam ketinting penduduk dan berangkat ke Indong. Ayono mendapat 3 jahitan didalam dan 8 diluar. Si Ketua kelas ini tidak menangis sedikitpun dengan luka separah ini. anak desa.

Besok malamnya saya menjenguk Ayono ke rumah orang tuanya di pinggir desa. Kurdi dan Upi menemani saya berjalan ke rumah Ayono. Sepanjang jalan saya menemukan hal yang sangat menarik buat saya. Upi ini sepertinya berbakat dengan angka-angka. Waktu itu saya iseng memberikan soal-soal matematika pada kurdi. Perkalian, pembagian dan penjumlahan. Sepanjang jalan saya main “tebak-tebakan” dengan Kurdi. Begitu saya kasih pertanyaan pengurangan 63-22, tidak sampai 3 detik saya mendengar suara Upi keras “41 pa guru!!”. Saya kaget. Upi yang sebelumnya hanya mengikuti kami berjalan sambil menggumam sendiri tiba-tiba menjawab pertanyaan saya dengan sangat cepat untuk ukuran anak kelas 2 SD. Bahkan dia menjawab sebelum Kurdi menjawab. Lalu saya coba lagi, “berapa 76-33 Upi?”, “43??” Upi menjawab dalam waktu beberapa detik saja. Setiap kali saya bilang betul dengan begitu semangat, Upi dengan lucunya selalu bertepuk tangan dan loncat. Tapi saat beberapa kali jawabanya salah karena kelebihan 1 atau kurang 1, dia selalu menepuk-nepuk jidatnya dengan tidak kalah lucunya. Saya sempat penasaran bagaimana cara Upi menghitung begitu cepat. Dia bahkan tidak menggunakan jari-jarinya. Belakangan saya temukan, Upi tidak memerlukan waktu untuk menjawab 75-15, 53-23, dan 44-14. Dia sudah mampu membayangkan bahwa bilangan yang ujungnya sama itu jika dikurangkan pasti hasilnya akan genap puluhan. Dan dia menggunakan bayangan itu untuk menjawab 76-33. Dia mengasumsikan pengurangnya adalah 36 sehingga dia tau jawabannya pasti empat puluh sekian. Barulah dia menambahkan 40 dengan 3 (selisih antara 36 dan 33). Setelah saya mengetahui cara yang dipakai bocah 7 tahun ini, barulah saya sadar kenapa Upi biasanya salah pada soal pengurangan yang angka belakang bilangan pengurang lebih besar daripada angka belakang bilangan awalnya seperti 33-16, 75-27, dan 66-19. Di rumah Ayono, sambil menjenguk Ayono, saya tidak bisa berhenti bermain dengan Upi. Kurdi bilang pada saya bahwa adiknya itu memang jago penjumlahan. Dia “akrab” dengan angka-angka.

Saya tertarik mengeksplor sejauh mana Upi berbakat dengan angka-angka. Saya ajari dia pembagian. Saya tanya “berapa 10 : 2?”, upi menjawab 8. Dia kira masih soal pengurangan. Lalu saya ceritakan pada Upi bahwa 10 : 2 itu ibaratnya Upi dan Kurdi pergi memancing dan mendapat 10 ikan. “Berapa ikan yang didapat masing-masing orang?”. Upi langsung cepat menjawab “5!!oooh..tau tau pa guru!”. saya kasih lagi beberapa soal pembagian ringan dan Upi menjawab soal-soal itu dengan semangat dan selalu meminta saya memberinya soal lagi. Saya juga ajari dia garis bilangan. Sekarang dia sudah tahu bahwa 2-5 itu -3. Dia sekarang sudah tahu bahwa 2-5 itu membuat orang harus berhutang 3. Dan hutang itu adalah tanda negatif (min).
Untuk anak berumur 7 tahun dan baru duduk di kelas 2 SD, saya pikir Upi ini sangat berbakat dengan angka-angka. Saya ingat mama selalu bisa membuat anak-anaknya senang matematika. Mama punya seribu satu cara mengajari anak-anaknya matematika. Rizky, anaknya Mba Minah yang sekarang tinggal bersama mama juga mendapatkan hal yang sama dari mama. Dari kecil dia sudah senang matematika. Tapi Upi ini tidak kenal dengan mama saya. Dia bahkan jarang sekali bertemu mamanya sendiri. Tapi dia dikaruniai bakat dengan angka-angka. Apa jadinya dia kalau kenal sama mama saya.

Sekarang, setiap bertemu saya Upi tidak lagi meminta pura-pura diobati lukanya. Sekarang setiap bertemu saya dia selalu bilang “kase kita kurang-kurang tambah-tambah dulu pa guruu!!” sambil berlari menghampiri dan memeluk sebelah kaki saya.

Upi, si anak berbahasa angka. Sekarang setiap saya sedang sendiri dan terbayang Upi dengan wajah polos dan kecerdasannya, rasanya saya ingin menangis jika membayangkan anak sekecil itu tidur setiap malam tanpa ditemani Ibunya. Bangun setiap pagi hanya tahu bahwa dia harus pergi ke sekolah. Tidak ada yang mencium dia, atau bahkan mungkin sekedar mengusap kepalanya. Masa kecil saya penuh dengan kasih sayang mama dan papa. Saya tahu bagaimana rasa aman dan nyamannya kasih sayang mama dan papa. Itu kenapa saya iba sekali. Saya membayangkan apa yang saya rasakan dulu saat kecil, tidak Upi rasakan di masa kecilnya sekarang.

Saya berjanji pada diri saya sendiri, bahwa Upi boleh mencium tangan saya selama dia mau tidak peduli walaupun seringkali dia ingusan. Dia boleh memeluk sebelah kaki saya selama dia mau tak peduli walaupun dia basah habis berenang di laut atau bau matahari habis panas-panasan. Dan setiap dia lari berteriak dan menghampiri saya meminta kurang-kurang tambah-tambah, saya akan kasih pertanyaan-pertanyaan sebanyak dia mau.

Kasih sayang itu bisa dibuat tidak terbatas. Jadi jika saya merasa mampu mengasihi dan menyayangi, kenapa tidak saya bagi dengan Upi dan anak-anak saya yang lain yang juga membutuhkan kasih sayang itu.

“Ayo Upi belajar yang rajin! Kalau Kurdi bilang dia mau jadi Dokter, kamu juga bisa bilang mau jadi apa saja yang kamu mau di dunia ini....”