Wednesday, June 15, 2011

7 Bulan Luar Biasa

Rasa-rasanya baru bulan lalu saya dan teman-teman PM1 diberangkatkan ke tempat penugasan, ternyata waktu terbang tak terasa sudah masuk bulan ke 8 kami bertugas di desa masing-masing. Banyak pengalaman yang saya alami selama di Pelita. Senang, sedih, marah, kesel, iba, semua perasaan sepertinya penah menemani keseharian saya selama di Pelita. Ini adalah catatan singkat tentang pencapaian tugas saya sebagai Pengaja Muda Gerakan Indonesia Mengajar di tempat penugasan selama 7 bulan.

Kurikulum dan manajeman sekolah.

Rasanya jika dilihat dari jam mengajar, saya sudah jauh melampaui jam minimal yang diarahkan kepada PM. Saya lebih tertarik menceritakan perubahan yang pelan-pelan sudah terlihat sekarang. Pada waktu awal saya mulai mengajar di Pelita, situasinya tidak berbeda jauh dari kebanyakan teman-teman PM Halsel. Guru yang ada Cuma 5 termasuk saya. Proses belajar mengajar “semiformal” karena tidak ada pengawasan akibat kekacauan yang terjadi pada level Dinas Pendidikan sampai UPTD. Semua dianggap berjalan baik-baik saja karena tidak pernah ada yang protes tentang pendidikan di Pelita. Guru-guru kekurangan sumber mengajar dan juga kompetensi. Tatap muka dengan siswa tidak intensif karena jumlah guru kurang dan itu tadi : kekurangan sumber dan kompetensi. Belum lagi soal dagelan Ujian Nasional yang saya yakin pasti mengiris-iris perasaan guru-guru yang masih percaya dan memegang teguh substansi pendidikan di Negeri ini.

Saya diuntungkan karena memiliki Kepala Sekolah yang punya semangat perubahan dan kebetulan merupakan salah satu tokoh desa Pelita. Selama saya mengajar kelas 5, saya sebisa mungkin menerapkan semua hal yang saya terima selama training PM. Dari mulai manajemen kelas sampai membangun kedekatan dengan orangtua murid dengan cara berkeliling rumah ke rumah setiap 3 bulan sekali. Hal itu mulai membuat Kepala Sekolah membicarakannya di rapat guru dan mendorong guru-guru lain untuk mengikuti yang saya lakukan. Sering sekali saya bertukar informasi tentang keberjalanan sekolah dengan guru-guru di sekolah. Dengan keterbatasan yang dimiliki guru-guru, sebisa mungkin saya menjelaskan signifikansi manajemen sekolah dan kelas yang baik pada kualitas output pendidikan. Saya tau, apa yang saya hadapi membutuhkan kesabaran dan konsistensi untuk mengubahnya. Sulit rasanya membayangkan perubahan besar akan terjadi dalam waktu satu-dua bulan, tapi saya yakin konsistensi akan membuahkan hasil yang lebih permanen.

Syukurlah, ternyata apa yang saya harapkan mulai terlihat hasilnya di akhir semester genap ini. pada rapat kenaikan kelas yang harusnya hanya membahas kenaikan anak, rapat juga akhirnya membahas hal-hal substansial pendidikan di Pelita. banyak yang saya utarakan dan bertentangan dengan apa yang selama ini dilakukan di Pelita. Saya keluarkan semuanya karena saya punya feeling kalau momen itu sangat pas. Gayung bersambut, momennya benar-benar pas ternyata. Seorang guru PNS yang baru ditugaskan di Pelita ikut menimpali dan mengutarakan keinginan-keinginannya tentang perubahan. Dengan jumlah guru yang sekarang pas untuk memegang masing-masing kelas, saya pikir ini potensi yang baik untuk lompat satu level. Kepala Sekolah tegas mengatakan ingin perubahan di sekolahnya dalam hal kualitas. Sebuah poin spesifik tentang makna “membantu anak” cukup jadi perbincangan panjang. Saya berusaha menekankan bahwa membantu anak dan menjerumuskan mereka itu tipis. Pragmatisme membuat guru-guru Pelita kadang sulit mengerti. Anak-anak yang dibantu naik kelas terus membuat akhirnya ada kelas 5 atau 6 yang belum lancar membaca. Akhirnya UN pun dibantu, begitu terus sampai akhirnya guru menimbun akumulasi dosa kita karena telah mengurung potensi anak untuk berkembang karena tidak pernah terpacu. Wajar saya pikir keadaan seperti itu di Pelita. Semuanya punya hubungan keluarga, pengawasan kurang, dan yang paling gawat adalah pemikiran bahwa selama ini juga aman-aman aja kok. Salah satu faktor yang biasanya membuat sekolah-sekolah di desa takut menahan siswanya tinggal kelas adalah tekanan masyarakat. Tapi syukurlah, di rapat siang iti Kepala Sekolah mengarahkan satu hal : mulai sekarang, guru kelas punya wewenang penuh untuk menilai anak dan menentukan kenaikannya. Tidak ada yang bileh intervensi bahkan jika itu anaknya kepala desa atau pak Imam sekalipun. Kepala sekolah juga bilang bahwa kita akan bilang kepada orang Pelita, SDN Ambatu/Pelita mulai sekarang akan berbeda dari sebelumnya. Masyarakat harus paham posisinya dalam pendidikan, dan itu akan terwujud kalau kita bisa tegas. One very good point : Kepala Sekolah berani pasang badan badan menghadapai tekanan orangtua murid.

Saya sebagai wali kelas 5 tidak menaikkan 4 orang siswa dari 24 siswa kelas 5. 3 orang diantara mereka karena belum lancar membaca dan menulis. Sementara seorang lagi adalah Ismail. Saya pernah membahas sedikit tentang Ismail ini di entry sebelumnya. Bakat anak ini luar biasa, tapi dia hampir 3 bulan tidak masuk sekolah dan kemampuan baca tulisnya kurang lancar karena faktor gangguan matanya. Saya pikir, selain karena nilai, akan sangat sayang jika Ismail saya paksakan naik ke kelas 6. Saya takut bisa-bisa bakatnya justru akan terus-terusan tersimpan karena dia terpaksa harus menerima pelajaran kelas 6 dan setengah mati mengikuti standarnya. Anak-anak yang tidak naik adalah hutang saya, wali kelas. Siswa tidak naik itu artinya wali kelas masih gagal membuat mereka memenuhi standar untuk naik kelas. Oleh karena itu harusnya anak-anak yang belum bisa naik dipertanggungjawabkan oleh wali kelas dengan mempersiapkan mereka lebih baik supaya bisa naik kelas di tahun berikutnya.

Dengan penjelasan seperti itu, dan kedekatan saya dengan semua orang tua kelas 5, saya yakin bahwa saya akan bisa membuat orang tua mengerti kenapa anaknya belum bisa naik kelas. Dan mudah-mudahan justru akan membuat mereka lebih memperhatikan lagi pendidikan anak mereka.

Di awal tahun ajaran baru nanti, guru-guru sudah besepakat dan berkomitmen akan melakukan perubahan dalam mengajar di kelas. Saya diminta memberikan sedikit sharing dan membuat semacam SOP yang mudah dipahami dan dilaksanakan oleh setiap wali kelas. Dari mulai instrumen yang harus dipegang guru kelas seperti target semester, target bulanan dan mingguan, RPP sederhana, manajeman kelas yang ceria dan bersemangat, sampai manajeman sekolah tentang performa guru. Agenda ini sudah disepakati juga pada rapat guru dan dijadwalkan di minggu pertama tahun ajaran baru. Tujuannya supaya minimal semua wali kelas punya pegangan yang sama dalam menjalankan proses belajar mengajar di kelas. Apalagi sekarang guru sudah cukup untuk memegang masing-masing satu kelas.

Ekstrakurikuler

Dimensi program PM poin ini belum punya signifikansi hasil. 7 bulan kemarin saya lebih tertarik membangun kedekatan dengan siswa SMP dan SMA melalui kursus komputer dan bahasa Inggris yang saya berikan. Dari awal memang saya berrencana memberdayakan remaja-remaja ini untuk nantinya aktif di kegiatan ekstrakurikuler SD. Saya pikir akan lebih sustainable nantinya.

Pembelajaran Masyarakat

Yang reguler adalah mengajar Bahasa Inggris di SMP dan membuka kursus komputer untuk SMP dan SMA. Untuk Bahasa Inggris, saya membantu SMP untuk menjadi guru mata pelajaran yang mengajar sore. Sementara kursus komputer saya buat di perpustakaan desa. Kurang lebih sudah 60 orang anak SMP dan SMA yang sudah mengikuti kursus dasar komputer ini.

Selain itu, saya juga membangun perpustakaan desa. Kepala desa mengizinkan saya menggunakan ruang bekas kantor dharmawanita untuk dijadikan perpustakaan. Berkat bantuan buku dan teman-teman Indonesia menyala dan teman-teman satu kampus, alhamdulillah sekarang perpustakaan sudah buka setiap hari dan memiliki banyak buku-buku berbagai jenis. Peminatnya mulai dari anak-anak SD sampai bapak-bapak ibu-ibu sering duduk membaca di perpustakaan. Nantinya, perpustakaan akan dikelola oleh OSIS SMP dan diawasi oleh Dewan Guru SMP. Sejak awal, saya memang sudah melibatkan anak-anak SMP dalam membangun dan mengisi perpustakaan. Mereka yang mendata buku-buku bantuan dan menyusun letaknya. Saya ingin perpustakaan ini menjadi agenda turun temurun OSIS SMP dibawah pengawasan sekolah dan desa.

Advokasi Pendidikan

Dimensi program PM poin ini sepertinya sejauh ini berjalan sangat baik. Agenda PM Halsel untuk poin ini cukup banyak dan mendalam. Yang terakhir, kami diundang untuk membantu Kepala Dinas Pendidikan yang baru, Pak Budi, untuk menyelenggarakan pra-rakerda dan rakerda Dinas Pendidikan Halsel yang hasilnya dijadikan input untuk membantu Pak Budi membuat perubahan-perubahan melalui Dinas Pendidikan yang dipimpinnya. Makin kesini, makin banyak orang-orang visioner di level birokrasi yang muncul. Diantaranya ya Pak Budi ini dan Sekda yang juga baru diangkat, Pak Amin. Ide-ide yang kami punya serasa punya wadah yang pas sekarang. Mudah-mudahan hubungan kerja yang positif antara PM dan Dinas Pendidikan bisa terus menghasilkan sesuatu sampai akhir penugasan untuk terus dilanjutkan.

**
Sepertinya cukup untuk sementara. Ini adalah beberapa catatan yang saya rasa penting untuk saya share. Time flies, really fast. Mudah-mudahan saya dan semua PM tetap punya kemampuan untuk percaya pada Indonesia. Karena sejauh ini yang saya rasakan, kemampuan itulah yang menjaga saya untuk tidak menyerah, segelap apapun, sesulit apapun.

But now is time for a little break. Selama berlibur juga untuk teman-teman PM yang lain. Mudah-mudahan kita akan pulang ke desa lagi dengan membawa segudang tambahan ide dan energi untuk diterapkan di desa masing-masing. Jaga kesehatan guys!:)

HostFam, Keluarga Rusdi Salim

Post ini adalah cerita tentang pengalaman saya bersama keluarga angkat saya di Pelita, keluarga Rusdi Salim. Sepertinya saya belum menceritakan tentang keluarga ini selain pengenalan anggotanya di beberapa post sebelum ini. Lagipula mungkin kemarin-kemarin saya belum punya banyak yang diceritakan tentang keluarga ini.
Saya akan mulai dari pak Rusdi, kepala keluarga, yang kebetulan juga kepala sekolah SD. Pak Rusdi ini badannya besar, mukanya sangar, dan berambut cepak. Cocok lah untuk pemeran penculik atau bodyguard di film-film. Tapi biarpun berperawakan seperti itu, dia sangat dekat dengan anak-anak, terlebih sebagai seorang kepala sekolah. Di Pelita, pak Rusdi termasuk salah satu pemuka desa yang disegani masyarakat desa. Sehari-hari, sepulang sekolah biasanya pak Rusdi pergi mengurus kebun atau melakukan hobinya: memancing. Oh, kira-kira bulan keempat saya di Pelita, saya pernah pergi memancing berdua dengan pak Rusdi. Sekitar jam 4.30 sore kami berangkat melaut menggunakan ketinting (perahu kecil bermotor). Sampai di spot memancing, kami buang jangkar dan mulai menyiapkan umpan (ikan kecil) yang sebelumnya kami minta dari tetangga yang pulang menjaring ikan kecil. Sore itu ikan yang jadi target adalah ikan Gurara, begitu orang sini menyebutnya. Matahari hampir terbenam saat kami mulai melempar mata kail ke laut. Sambil memancing, pak Rusdi cerita kalau ikan Gurara ini baru akan makan umpan kita tepat saat matahari terbenam. Jadi ada sekitar 10 menit selang waktu dimana ikan Gurara akan memakan umpan kami. Ternyata itu sebabnya kami berangkat sore sekali dan kail yang dipasang di satu benang nilon sampai 3 buah. Karna Ikan Gurara ini sepertinya buka puasa saat matahari terbenam. Sore itu saya dapat 2 ekor ikan gurara, pak rusdi dapat 9. Karna tiba-tiba hujan besar, kami memutuskan untuk pulang. Sempat ada kejadian seru saat mesin ketinting tidak mau hidup sementara hujan besar sekali. Karna licin, beberapa kali perhu kami hampir terbalik karna pak rusdi dan saya bergantian memutar mesin yang harus ditarik sekuat tenaga supaya hidup. Setelah hidup pun, saya tidak tau arah pulang karna gelap dan hujan lebat mengganggu pandangan. Tapi untunglah saya pergi bersama orang yang besar di laut sekitar Pelita, somehow pak Rusdi tau harus mengarahkan ketinting kemana hingga kami selamat pulang sampai Pelita.
Sampai di rumah, jam 8 malam, setelah “memarkir” ketinting di dermaga, saya dan pak Rusdi pulang dalam keadaan basah kuyup dan membawa ikan. Ya, membawa ikan. “yang penting kitong bawa ikan lah supaya ibu tara marah pa kitorang..haha” begitu kata pak rusdi dalam perjalanan pulang malam itu. Benar saja, baru mengetok pintu belakang, bu Rusdi sudah terdengar ngomel dari dalam. Tapi begitu buka pintu dan pak Rusdi menyodorkan ikan 11 ekor yang masing-masing panjangnya sampai 30 cm, simsalabim, bu Rusdi langsung berhenti ngomel lalu langsung memboyong ikan ke dapur untuk di bakar. Pak Rusdi dan saya cekikikan. :D
Bu Rusdi ini memang terkenal galak di kalangan anak-anak desa. Yah, mungkin tipe ibu-ibu yang cerewet kalo sama anak-anak. Tapi sebenarnya dia baik. Seperti orang desa kebanyakan, bu rusdi sangat ringan tangan dan sering berbagi. Di rumah, saya makan teratur sekali. Sarapan biasanya kue basah khas maluku utara, lalu pulang sekolah ibu biasanya sudah masak, ikan tentunya, dan habis magrib makan malam sudah siap. Bu Rusdi jago masak, ini bikin saya inget sama mama. Hehe. Bu Rusdi punya banyak jenis masakan ikan mulai dari ikan goreng di macem-macemin, bakar, sampai ikan fufu (asap) dimacem-macemin. Belum aneka kue tradisional yang enak-enak semua. Yang paling saya suka adalah pisang ijo. Iya, memang tanpa “es” karena ga ada lemari es di Pelita. tapi jangan salah, pisang raja dari kebun sendiri yang super nampol sama saos bikinan Bu Rusdi ngalahin rasa semua pisang ijo yang pernah saya makan. Melihat Pak Rusdi dan istrinya ini seru. Kadang kalo pak rusdi pulang mancing kemaleman, bu rusdi bisa ngomel-ngomel. Tapi sesaat setelahnya sambil makan malem, mereka udah bisa asik aja ketawa-ketawa, kenceng banget, seperti orang Maluku kebanyakan. Mereka senang kalo saya mulai tanya-tanya apapun tentang Pelita dan Maluku Utara. Ya bahasa, tradisi, ataupun silsilah keluarga. Biasanya itu jadi topik obrolan kami pagi-pagi.
Di rumah juga tinggal 3 dari 4 anak Pak Rusdi dan seorang keponakannya. Anaknya yang paling tua sedang kuliah di Ternate. Yang kedua namanya Khairil Rusdi. Habis ditolak sekolah kepolisian karna umurnya masih kurang beberapa bulan. Jadi sambil menunggu tahun berikutnya, Khairil tinggal di Pelita. Keponakan Pak Rusdi namanya Juanda. Dia berumur dibawah Khairil dan masih kelas 2 SMA. Namanya juga remaja, khairil dan Janda ini lagi mulai semangat-semangatnya mengenal perempuan. Sepertinya dua-duanya sama-sama punya “teman” diluar Pelita. hampir setiap malam mereka pasti keluar ke dermaga desa untuk sms atau telfon. Biasanya mereka pulang lebih larut daripada saya. Dan kalau sudah terlalu larut biasanya mereka bakal mengetuk jendela kamar saya minta dibukain pintu. Bu rusdi selalu terbangun kalau pintu depan terdengar dibuka. “Siapa itu?” kalau yang jawab Juanda atau Khairil, Bu rusdi pasti ngomel. Jadi seringnya saya yang jawab, “Dika bu..” dan mereka pun selamat. :D
Suhaiba Rusdi, anak ketiganya pak Rusdi masih sekolah kelas 2 SMP. Di bawahnya lagi ada galang, nama aslinya Khairul Amin Rusdi dan masih berumur 4 tahun. Sebagai anak perempuan, Eba -panggilan Suhaiba- lah yang membantu bu Rusdi soal urusan dapur. Dia juga paling kompak dengan Galang, tapi juga paling usil dan sering bikin Galang nangis. Galang ini sidah pintar menghidupkan leptop saya, lalu biasanya minta diputarkan film perang. Anak seumur dia memang cepat mempelajari hal baru. Kamera saya sudah bisa saya pinjamkan ke Galang tanpa khawatir karna dia sudah tau cara mengoperasikannya dan paham kalau tangannya harus dikaitkan ke tali pengaman dan lensanya tidak boleh dia pegang. Saya sering teringat Iki, keponakan saya yang tinggal sama mama di rumah. Dia juga dari kecil sudah pinter macem-macem. Kalau sedang berjalan-jalan. Galang paling suka saya sompong –istilah orang Pelita untuk menggendong anak di sebelah pundak.
Saya senang karena saya merasa sudah dianggap seperti keluarga sendiri olah keluarga Pak Rusdi. Bukan lagi dianggap tamu dari kota yang lagi bertugas di Pelita. Interaksi saya dengan mereka menunjukkan hal itu. Keluarga ini hangat dan ceria. Yang sejauh ini bisa saya lihat, kehidupan di desa memang jauh dari tekanan. Ini berimbas ke perilaku manusia-manusianya. Orang-orang yang hidup tanpa rasa tertekan akan lebih rileks menjalankan kehidupannya. Orang-orang yang jauh dari tamak karena merasa apa yang mereka punya sudah lebih dari cukup. Orang-orang yang kemampuan untuk merasakan kebahagiaannya lebih tinggi daripada orang di kota kebanyakan. Saya yakin, itu pasti jadi salah satu penyebab kenapa keluarga Pak Rusdi hangat san ceria.
Dari keluarga ini saya belajar tentang kesederhanaan dan kemampuan bersyukur. Bisa makan ikan setiap hari, tidur dibawah atap walaupun dengan kasur tipis, rasanya cukup. Tak perlu lah mengutuki listrik PLN yang tak kunjung masuk atau sinyal HP yang tidak ada di desa. Tidur malam dengan gelap gulita rasanya juga lebih sehat. Siang hari tidak ada TV dengan sinetronnya juga rasanya lebih baik bagi anak-anak membuat mereka bermain diluar, berinteraksi dengan anak-anak lain. Banyak ternyata nilai dari kesederhanaan yang saya lupa atau bahkan mungkin tidak pernah sebegininya merasakan. Di Sini, kebahagian terlihat lebih luas.
Saya sekarang jadi lebih mengerti arti kalimat “kebahagiaan itu bukan dicari, tapi diciptakan.” Belajar banyak dari orang-orang di desa Pelita tentang arti kebahagiaan. Mungkin, saat semua orang mampu menciptakan kebahagiaannya sehingga apa yang dia lakukan dilandasi perasaan bahagia yang sebenarnya, saya pikir Indonesia pasti bisa menyelesaikan semua permasalahannya.
“and happiness only real when it shared...”