***
“Indonesia itu negerikaya”.
Dulu saya pikir saya sudah paham maksud premis itu dari hanya mengagumi
jepretan kamera fotografer, cerita orang tua, dongeng-dongeng, cerita rakyat,
dan buku PPKN Sekolah Dasar. Tapi ternyata, mengalamisatu tahun tinggal dan
hidup di Desa Pelita, di pulau kecil di salah satu titik nusantarayang belum
dialiri listrik dan terjangkau sinyal ponsel berhasil membuat saya terpukau
akankayanya negeri ini, memberikan perspektif lain arti kekayaannya. Ini adalah
kisah saya, seorang anak kota yang mendapat kesempatan mengenal Indonesia lebih
dekat, mengenal bagian lain di dalam tapal batas republik ini, menikmati dan
memaknai Indonesia.
Kabupaten 400 Pulau
Dari riuhnya Bandara
Soekarno-Hatta, Jakarta, saya terbang selama kurang lebih 3 jam untuk transit
di Manado lalu menyambung perjalanan udara lain selama 45 menit. Di siang yang terik itu, tibalah saya di
Ternate, sebuah kota pusat perekonomian di Provinsi Maluku Utara. Kota yangdalam
perjalanan sejarahnya pernah jadi pusat pertahanan dan pemerintahan bangsa
Portugis, Spanyol, dan Belanda ini memiliki daya tarik dari berbagai hal mulai
dari objek wisata sejarah, makanan khas, pantai, danau dan bahkan kesultanannya.
Kali pertama saya menginjakkan kaki di bagian timur Indonesia itu, saya makan
siang di tepi salah satu dermaga yang menghadap ke Pulau Maitara dan Tidore. Sambil
makan siang, saya bisa menikmati pemandangan yang persis sama dengan yang ada di
salah satu sisi uang kertas seribu rupiah. Hanya saja tanpa sampan kecil dan
bapak tua yang mendayungnya.
Beranjak malam, sebuah kapal
penumpang besar bermuatan 800 orang mengantarkan saya mengarungi Laut Maluku ke
arah Selatan menuju Pulau Bacan, tempat terletaknya ibukota Kabupaten Halmahera
Selatan, Labuha. Perjalanan satu malam itu belum-belum sudah memberikan kesan
khas Maluku Utara. Dimulai dari terkaget-kagetnya saya di Pelabuhan Bastiong Ternate
saat akan berangkat olehkerasnya suara dan cara berinteraksi orang Maluku Utara
yang lantang, sampai hamparan langit malam yang terasa sangat terang malam itu
diatas Laut Maluku yang berombak kecil dan angin laut yang terasa asin. Di atas
kapal menuju Pulau Bacan malam itu, saya tahu, satu tahun yang akan saya jalani
di Desa Pelita akan penuh kejutan.
Keesokan paginya saat matahari
belum terbit, lantangnya suara kuli-kuli angkut barang membangunkan saya
setangah kaget. “Ngana pe barang ada?
Mari kita angkat!”, teriak salah seorang kuli angkut barang yang menawarkan
jasanya mengagetkan saya. Saya menggeleng sambil masih setengah sadar. Mungkin
karena terbiasa di laut, orang Maluku Utara memang senang berbicara dengan
lantang sehingga jelas terdengar diantara deru mesin kapal atau deburan ombak.
Selesai mengumpulkan nyawa, saya bangkit dan melongok ke anjungan kapal. Ternyata
kapal sudah merapat di Pelabuhan Babang. Saya tiba di Pulau Bacan.
Pulau Bacan ini kecil. Satu jam
menaiki angkutan umum ternyata sudah membawa saya ke Labuha di tepi pulau sisi
yang berlawanan dengan sisi Pelabuhan Babang. Labuha yang merupakan ibukota
Kabupaten Halmahera Selatan ini mungkin mirip dengan kota-kota kecil di Jawa
Tengah atau Jawa Timur yang hanya punya beberapa jalan utama yang hanya butuh
waktu yang relatif singkat untuk bisa mengelilingi kotanya. Di salah satu sudut
kota kecil ini, ada Pasar Ikan yang selalu ramai. Nelayan yang berkapal besar
menjual ikan-ikan tangkapannya di pasar ini, tapi ada juga Nelayan Hobi –begitu
istilah saya untuk orang yang memancing hanya untuk penghasilan tambahan dan
kesenangan- yang menenteng beberapa ekor ikan hasil tangkapannya di seutas
kenur dan mencari pembeli di perjalanan pulangnya. Suatu kali ada bapak paruh
baya yang meneteng seekor ikan Bubara yang panjangnya sekitar 40 cm, seekor
Kepiting laut cukup besar, dan seekor Udang seukuran dua kepalan tangan orang
dewasa. Saya menyapa, “itu ikan ngoni
jual, Bapak?”, lalu dia menghampiri ramah dan menjawab, “iyo, ambe sudah limabelas ribu samua!”.
Saya tercengang dengan harga yang disebutkan bapak itu. “Bagaimana bisa bahan
makanan sebanyak itu dijualnya hanya 15.000 rupiah?” tanya saya dalam hati.
Halmahera Selatan punya potensi
perikanan yang sangat tinggi. Namun sayang potensi itu belum digunakan dengan
maksimal. Di sana ada pepatah: “Ikan tak perlu kau pancing pun, akan lompat ke
demaga”. Masih sedikit sekali orang yang melakukan budidaya ikan. Ikan Kerapu
besar sepanjang 40 cm bisa dijual hanya 10.000 rupiah per ekornya. Bagi orang
yang gemar memancing, lautan di kepulauan Halmahera Selatan adalah surga
memancing. Mulai dari ikan Cakalang kecil atau besar, sampai ikan Bubara atau Awakang yang ukurannya mencapai sebesar
tubuh anak usia 10 tahun bisa dipancing. Mau memancing dari dermaga atau menggunakan
ketinting bisa dilakukan. Mencari
ikan dengan kail pancing biasa, sampai menggunakan tombak dan lampu semprong di
malam hari juga bisa. Hampir semua cara menangkap ikan yang ada di sana sudah
pernah saya coba, walaupun kita semua mungkin bisa menebak sebanyak apa ikan
yang bisa ditangkap oleh seorang amatiran seperti saya.
Dari sebuah pelabuhan kecil di
Labuha, berbaris belasan perahu motor kecil berkapasitas 20-30 orang yang
merupakan transportasi umum ke pulau-pulau dan desa-desa di Kabupaten Halmahera
Selatan. Kabupaten ini memiliki 400 pulau dan 78% wilayahnya adalah laut. Saya
menaiki salah satu perahu motor yang akan berangkat menuju sebuah desa bernama
Pelita. Dari Labuha, hanya ada 3 kali dalam seminggu perahu motor yang
berangkat ke Desa Pelita. Perlu waktu 2,5 jam mengarungi lautan dan ongkos
sebesar 20.000 Rupiah untuk sampai di pulau tempat Desa Pelita berada.
Terkadang jika beruntung, di perjalanan-perjalanan berikutnya saat saya
berkunjung ke Labuha, gerombolan Lumba-lumba akan mengikuti perahu motor yang
saya tumpangi. Berputar-putar mengelilingi perahu sambil sesekali melompat memamerkan
kelincahan mereka.
Desa Pelita
Desa kecil yang berpenduduk
hanya sekitar 600 jiwa. Saat pertama kali perahu motor yang mengangkut saya
merapat di Desa Pelita, saya ingat bagaimana anak-anak kecil bertelanjang bulat
yang sedang berenang di pantai naik ke dermaga mengamati dengan serius seorang
laki-laki dengan tas besar yang baru tiba di desa mereka. “Mas! Ada bajual apa?” (mas, jualan apa?) tanya seorang bocah
keriting yang menghampiri saya. Saya bingung sesaat, lalu menjelaskan bahwa
saya akan menjadi guru bantu di Pelita. Belakangan saya tahu bahwa yang
biasanya datang membawa tas besar dan berasal dari Jawa adalah orang yang
membawa dagangan seperti penjual baju, sepatu, mainan, tukang foto, tukang
jahit, dan sebagainya. Di desa kepulauan dengan akses terbatas seperti Pelita
ini, memang begitulah cara orang berdagang dan membeli barang.Tidak ada
swalayan atau toko kelontong. Jadi setiap ada “mas dari jawa” yang datang
membawa dagangan, pasti dermaga desa langsung ramai oleh warga yang ingin
membeli ataupun orang yang hanya sekedar terlarut dengan antusiasme yang lain.
Desa ini terletak di bibir
pantai sisi Timur Pulau Mandioli. Luasnya hanya sekitar 1 Km2
dibatasi oleh laut, dan hutan di sekelilingnya. Di bukit-bukit di dalam hutan,
banyak terdapat kebun-kebun milik orang Pelita. Mereka menanam sagu, kelapa,
jagung, sayur-sayuran, singkong, dan tanaman kebun lainnya. Selain untuk
dijual, hasil kebun mereka juga untuk makan sehari-hari. Jika kita dua jam
berjalan kaki dari Pelita masuk ke dalam pulau Mandioli, ada sepasang air
terjun yang dikenal orang Pelita dengan nama Air Terjun Laki-laki, dan Air
Terjun Perempuan. Airnya sejuk dan jernih. Konon, tebing terjunan dua air
terjun ini dulu membentuk wajah seorang laki-laki dan perempuan. Dan yang
membuat air terjun ini lebih menarik lagi, kita bisa memanjat dan melompat dari
tebing terjunannya. Di bulan pertama saya tinggal di Pelita, beberapa anak SD
dan SMP mengajak saya melihat air terjun. Kami berjalan melewati jalan setapak
di hutan dan beberapa kali istirahat minum setiap bertemu sungai kecil. Dan tentu
saja kami minum dari air sungai kecil yang jernih dan sejuk itu.
Di muka air terjun laki-laki,
dibangun semacam bendungan kecil agar bisa dijadikan tempat berenang bagi orang
yang datang. Orang Pelita sudah menjadikan air terjun ini sebagai tempat piknik
sejak lama sekali. Jika ada hari libur nasional atau liburan sekolah, air
terjun adalah pilihan favorit orang Pelita. Ratusan orang bisa memenuhiair
terjun ini menikmati kebersamaan yang memang terasa kental sekali pada
orang-orang di desa kecil kebanyakan.
Keluarga Besar
Mejalani setahun di Pelita,
banyak hal unik yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Interaksi warga yang
mengesankan saya pertama kali adalah sebuah kejadian sehabis ibadah sholat
Jumat di suatu siang di mesjid desa. Ompala –begitu sebutan untuk Kepala Desa-,
tiba-tiba bangkit sesaat setelah shalat Jumat berakhir dan berdiri menghadap
jamaah yang diantaranya juga ada barisan perempuan di paling belakang.
“Bapak-bapak dan Ibu-ibu semua, besok hari Sabtu kita semua tidak ada yang
boleh kerja kebun atau mencari ikan. Besok semua libur dari pekerjaannya. Kita
akan bergotong-royong mengambil pasir dari Pulau Ambatu untuk keperluan
renovasi mesjid kita ini.” Lalu semua mengiyakan titah kepala desa ini dengan
khas suara lantang orang Maluku Utara dengan berkata “Ole! Ole!” (iya! Iya!).
Ini seperti yang saya baca di buku PPKN dulu. Kepala Desa dihormati dan memang
dipandang sebagai seorang pemimpin, alih-alih hanya sebagai jabatan
administratif. Di Pelita memang hanya saya dan guru-guru lain yang pekerjaannya
terikat oleh aturan waktu. Selebihnya bekerja sebagai petani atau nelayan yang
tidak punya bos yang mengatur jam kerja mereka setiap hari sehingga jika Kepala
Desa memberi titah seperti pada sholat Jumat itu, semua akan menyanggupi dengan
senang hati dan bersemangat.
Keesokannya, hari gotong
royong. Pagi sekali saat saya keluar rumah untuk pergi mengajar terlebih dahulu
di sekolah, warga yang terdiri dari bapak-bapak, ibu-ibu, dan pemuda sudah
berkumpul di dermaga desa merencanakan strategi gotong royong hari itu sambil
sarapan teh manis dan sagu yang disiapkan para ibu-ibu. Beberapa ketinting -perahu kecil selebar badan
yang digerakkan motor kecil- milik warga disiapkan untuk bolak-balik mengangkut
pasir dari pulau kecil di muka desa Pelita. Dari dermaga ke pintu masuk desa,
karung-karung pasir akan dipikul oleh bapak-bapak dan pemuda dan disambung
dengan ibu-ibu dan anak-anak perempuan yang siap dengan baskom, ember kecil,
kaleng-kaleng susu untuk mengangkut pasir sedikit-sedikit ke mesjid yang
berjarak 100 meter dari pintu masuk desa.
Hari itu entah kenapa saya
tersenyum sepanjang hari menyaksikan orang-orang Pelita bergotong royong sambil
berteriak (berbicara) penuh canda tawa dan sesekali bernyanyi lagu-lagu berbahasa
Ternate. Sepulang mengajar, saya dan guru-guru lain bergabung dalam keceriaan
Sabtu itu. Di Pelita, semua warga saling mengenal dengan baik. Suku
mayoritasnya adalah suku Ternate dan hubungan kekerabatan antar sebagian besar
penduduknya cukup dekat secara garis keturunan. Itu karena desa ini, menurut
sejarahnya, dimulai oleh 8orang Ternate di awal tahun 1900-an yang merantau
dengan perahu dayung lalu beranak-pinak di lahan yang sekarang bernama Desa
Pelita.
Saya belajar banyak hal dari
Desa Pelita. Salah satunya adalah tentang kebahagiaan dan kenikmatan sebagai
seorang Indonesia. Keterpencilan Pelita, jaringan listrik PLN yang belum masuk,
dan sinyal telepon seluler yang sangat sulit ditemukan ternyata memberikan saya
visualisasi dari sifat yang mengalir dalam darah orang Indonesia: kekeluargaan
dan gotong royong. Sifat asli itu memang akan selalu hidup, karena kita semua
adalah keturunan orang-orang yang membangun negeri ini juga dengan semangat
kekeluargaan dan gotong royong.
Bebas Pengawet
Seumur hidup saya, rasa-rasanya
baru dalam satu tahun selama di Pelita itu lah saya hidup dengan sangat teratur
dan sehat. Tidak ada begadang bekerjasampai pagi karena tidak ada listrik
mengalir yang bisa menemani aktivitas malam, setiap hari makan ikan segar
pancingan dan sayur-sayur dari kebun yang diambil oleh ibu angkat saya, dan jam
makan teratur karena aktivitas saya hanya di dalam desa kecil itu sehingga
tidak ada istilah terlambat makan. Jika dulu saya makan ikandi Bandung, saya
tidak pernah tahu dari mana ikan itu berasal, sudah berapa lama ikan itu mati,
atau apa yang sudah mencemari ikan itu. Begitu pula dengan sayuran, hampir
tidak pernah saya makan sayur yang saya tahu persis di mana sayuran itu
ditanam. Tapi di Pelita, setiap hari saya makan makanan yang jelas dari mana
asalnya. Ikan pasti dari hasil pancingan bapak atau orang pelita, dan sayur
pasti dari yang diambil ibu di kebun. Suatu kali ibu angkat saya membuat gohu. Itu adalah nama masakan sejenis sashimi yang dibuat dari ikan mentah
dengan kelapa parut dan bumbu tertentu. Saya sebetulnya tidak mau makan ikan
mentah, tapi saat ibu membuat gohu
dari ikan mentah pancingan bapak, saya coba makan dan ikannya terasa sangat
manis, tanpa rasa dan bau amis sedikitpun. Kata ibu, itu karena ikannya
benar-benar segar baru dipancing.
Di kesempatan lain di
bulan-bulan awal saya, ada kisah tentang kue. Waktu itu hari Minggu pagi. Saya
baru pulang dari kebun membantu bapak perbaiki pagar yang rusak diseruduk babi
hutan. Lalu ibu menawari saya, “Dika, kamu mau sarapan kue Nagasari?” Yang saya
tahu, Nagasari adalah kue bebahan dasar sejenis tepung yang di dalamnya ada
potongan pisang dan dibungkus oleh daun pisang. Saya menjawab pada ibu,”Mau Bu,
3 buah ya!” Lalu ibu terlihat heran dan menyarankan saya untuk hanya makan satu
Nagasari. Saya berpikir, “mungkin Nagasari yang ibu buat hanya ada sedikit, tak
apa lah.”Sekembalinya ibu dari dapur membawa Nagasari untuk saya dan bapak,
saya baru paham kenapa ibu hanya menyaranan saya untuk makan hanya satu
Nagasari. Nagasari di Pelita ternyata kue yang tidak sama persis dengan Nagasari
bayangan saya. Bedanya, Nagasari Pelita ini berukuran selebar piring makan dan
di dalamnya bukan diisi dengan potongan pisang melainkan dua buah Pisang Raja
utuh! Saat saya ceritakan bayangan tentang Nagasari di kepala saya pada ibu dan
bapak, kami semua menertawai pagi hari yang hangat itu.
Karang dan Pulau Babating
Kehidupan di desa kecil seperti
Pelita memang jauh sekali berbeda dengan Jakarta. Di Pelita waktu seolah tidak
mengejar, tidak ada orang stress, semua kebahagiaan tercukupi oleh alam. Jika
pagi hari hujan lebat, para petani bisa menunda berangkat ke kebun, jika sore
hujan, para nelayan bisa mengganti jadwal “dinas” menjadi malam hingga dini
hari. Saya belajar banyak dari kehidupan Pelita dimana orang-orang punya banyak
waktu untuk orang lain, dan untuk syukuri alam Indonesia. Saya menikmati setiap
detik di sana untuk belajar dan melihat Indonesia dari sudut lain yang tak
terbayangkan sebelumnya.
Selain sepasang air terjun di
dalam hutan, ada banyak sekali lokasi lain yang bisa dinikmati. Snorkeling merupakan aktivitas rutin
saya bersama anak-anak di hampirsetiap akhir pekan. Tidak usah jauh, di
sepanjang bibir pantai Pelita saja saya sudah puas menikmati beragam karang warna-warni
dan tak terhitung ikan-ikan cantik yang sebelumnya hanya pernah saya lihat di
akuarium atau di televisi. Ada juga satu pulau indah bernama Babating yang jadi
tujuan kala warga Pelita punya perayaan khusus. Saya cukup beruntung karena menjelang
akhir dari satu tahun penugasan saya di Pelita, warga dan anak-anak
merencanankan piknik perpisahan ke Pulau Babating.
Piknik yang melibatkan orang
se-desa seperti kali itu sudah sering dilakukan orang-orang Pelita jika ada
yang dirayakan. Sehari sebelum piknik, ibu-ibu di Pelita punya tradisi
berkumpul di rumah salah satu warga untuk memasak dan menyiapkan bahan makanan
untuk bekal piknik desa. Yang laki-laki biasanya menyiapkan perahu motor dan
alat-alat musik untuk dibawa saat piknik.
Waktu itu hari Kamis dan
kebetulan tanggal merah di kalender. Sejak pagi sekali, murid-murid saya sudah
menunggu di depan rumah saya tidak sabar untuk berangkat. Ibu-ibu mengisi
perahu motor Pelita yang akan kami naiki dengan makanan dan minuman. Lalu
orang-orang desa mulai ramai di dermaga bersiap untuk berangkat. Perjalanan ke
Pulau Babating kami tempuh selama dua jam menggunakan dua perahu motor dari
Pelita yang beriringan lengkap dengan riuh suara anak-anak bernyanyi. Saat itu,
sekitar 200 orang warga Pelita, tua dan muda, ikut piknik ke Pulau Babating.
Kami merapat di salah satu sisi
pulau yang membuat saya berdecak kagum. Seperti kebanyakan pantai di kepulauan
Halmahera Selatan ini, pantai Babating juga tidak berombak besar. Saya ingat
jelas saat itu seperti masuk ke dalam kolam renang rasanya. Dari bibir pantai
Babating sampai kira-kira 70 meter ke arah laut, tinggi air laut hanya sebatas
dada orang dewasa dengan pasir putih bersih sebagai alasnya. Airnya luar biasa bening.
Kolam renang raksasa air asin itulah tempat kami berenang saat baru tiba.
Menjelang siang, saya dan anak-anak juga warga yang lain naik ke pantai pasir
putih yang cukupluas untuk bermain bola. Seperti punya pulau pribadi yang semua
orang di dalamnya adalah orang yang saya kenal dekat, keluarga baru saya di
Pelita.
Di tengah permainan bola,
ibu-ibu berteriak memanggil rombongn untuk makan. Di pinggir pantai, di bawah
pohon kelapa yang teduh, sudah siap berbagai ikan panggang, sagu, singkong
rebus, pisang rebus, sayur daun singkong dan sayur bunga pepaya yang ditata
rapi oleh ibu-ibu di atas taplak daun pisang yang disusun memanjang. Cantik
sekali. Saat itu saya bahagia sekali di penghujung masa tugas di Pelita, terlebih
karena suasana yang begitu hangat dan menyenangkan. Seperti liburan keluarga
besar, besar sekali, yang mulai dari kakek nenek hingga cucu dan cicit hadir
dan bersenang-senang bersama.
Rumah Kedua
Merasakan kehidupan Desa Pelita
selama satu tahun, mengajar di sekolah, bersosialisasi dengan orang-orang
Pelita, belajar berbagai macam tradisi dan kebudayaan baru, dan mensyukuri alam
Indonesia, telah menjadikan Desa Pelita sebagai kampung saya. Kuatnya ikatan
yang terbangun dari interaksi yang itens sebagai ciri khas kehidupan di desa
kecil telah membuat saya menganggap orang-orang di Pelita sebagai keluarga
saya, dan begitu juga sebaliknya.
Ini mungkin yang disebut dengan
tenun kebangsaan, saat orang bersuku Minang yang lahir dan besar di Bandung
seperti saya bisa merasakan hangatnya suasana rumah di desa kecil di timur
Indonesia.Merajut tenun kebangsaan saat ini merupakan barang mahal di tengah
berbagai peristiwa memprihatinkan yang kita alami sebagai bangsa yang kaya akan
perbedaan. Menikmati Indonesia dari Pelita bernilai lebih dari sekedar melihat
alam dan budayanya, tapi juga tentang mengenal saudara sebangsa yang sama-sama
hidup dari tanah dan air Indonesia, di sepanjang nusantara.
Sekarang saya juga punya banyak
keluarga baru. Saya punya bapak angkat bernama Rusdi, Ibu angkat bernama Sadia,
dan adik-adik angkat bernama Hairil, Amrul, Suhaiba, dan Galang. Anak-anak di
Pelita, murid-murid saya, yang dalam satu tahun sudah memberi saya segudang
pelajaran berharga, kini sudah saya anggap adik sendiri. Juga setiap orang di
Desa Pelita yang sudah terasa seperti saudara untuk saya.
Beberapa bulan sekembalinya
saya ke Jakarta karena berakhirnya masa tugas saya di Pelita, saya mendapat
telepon dari Pak Rusdi dari Pelita yang berhasil menemukan sinyal telepon
seluler di bukit. Setelah saling bertanya keadaan dan melepas rindu, Pak Rusdi
mengakhiri percakapan dengan bertanya, “kapan pulang lagi ke Pelita?” Lalu saya
jawab, “insyaAllah tahun depan saya pulang lagi”. Setelah telepon berakhir,
saya baru tersadar, Pak Rusdi bilang “pulang”, dan saya juga menjawab tanpa
merasa ada yang janggal. Ya, memang tidak ada yang janggal karen sampai
kapanpun Desa Pelita akan selalu jadi rumah kedua untuk saya.
Terimakasih Pelita, telah
mengajarkan saya begitu banyak hal dari ujung republik ini, dan membuat saya
belajar menjadi Indonesia.