Tuesday, December 25, 2012

Belajar Indonesia dari Pelita

Tulisan ini saya buat dalam rangka lomba menulis "Tulis Nusantara 2012" kategori non-fiksi. Tapi karena tidak menang, saya akan post supaya tidak mubadzir. 

***

“Indonesia itu negerikaya”. Dulu saya pikir saya sudah paham maksud premis itu dari hanya mengagumi jepretan kamera fotografer, cerita orang tua, dongeng-dongeng, cerita rakyat, dan buku PPKN Sekolah Dasar. Tapi ternyata, mengalamisatu tahun tinggal dan hidup di Desa Pelita, di pulau kecil di salah satu titik nusantarayang belum dialiri listrik dan terjangkau sinyal ponsel berhasil membuat saya terpukau akankayanya negeri ini, memberikan perspektif lain arti kekayaannya. Ini adalah kisah saya, seorang anak kota yang mendapat kesempatan mengenal Indonesia lebih dekat, mengenal bagian lain di dalam tapal batas republik ini, menikmati dan memaknai Indonesia.

Kabupaten 400 Pulau

Dari riuhnya Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, saya terbang selama kurang lebih 3 jam untuk transit di Manado lalu menyambung perjalanan udara lain selama 45 menit.  Di siang yang terik itu, tibalah saya di Ternate, sebuah kota pusat perekonomian di Provinsi Maluku Utara. Kota yangdalam perjalanan sejarahnya pernah jadi pusat pertahanan dan pemerintahan bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda ini memiliki daya tarik dari berbagai hal mulai dari objek wisata sejarah, makanan khas, pantai, danau dan bahkan kesultanannya. Kali pertama saya menginjakkan kaki di bagian timur Indonesia itu, saya makan siang di tepi salah satu dermaga yang menghadap ke Pulau Maitara dan Tidore. Sambil makan siang, saya bisa menikmati pemandangan yang persis sama dengan yang ada di salah satu sisi uang kertas seribu rupiah. Hanya saja tanpa sampan kecil dan bapak tua yang mendayungnya.

Beranjak malam, sebuah kapal penumpang besar bermuatan 800 orang mengantarkan saya mengarungi Laut Maluku ke arah Selatan menuju Pulau Bacan, tempat terletaknya ibukota Kabupaten Halmahera Selatan, Labuha. Perjalanan satu malam itu belum-belum sudah memberikan kesan khas Maluku Utara. Dimulai dari terkaget-kagetnya saya di Pelabuhan Bastiong Ternate saat akan berangkat olehkerasnya suara dan cara berinteraksi orang Maluku Utara yang lantang, sampai hamparan langit malam yang terasa sangat terang malam itu diatas Laut Maluku yang berombak kecil dan angin laut yang terasa asin. Di atas kapal menuju Pulau Bacan malam itu, saya tahu, satu tahun yang akan saya jalani di Desa Pelita akan penuh kejutan.

Keesokan paginya saat matahari belum terbit, lantangnya suara kuli-kuli angkut barang membangunkan saya setangah kaget. “Ngana pe barang ada? Mari kita angkat!”, teriak salah seorang kuli angkut barang yang menawarkan jasanya mengagetkan saya. Saya menggeleng sambil masih setengah sadar. Mungkin karena terbiasa di laut, orang Maluku Utara memang senang berbicara dengan lantang sehingga jelas terdengar diantara deru mesin kapal atau deburan ombak. Selesai mengumpulkan nyawa, saya bangkit dan melongok ke anjungan kapal. Ternyata kapal sudah merapat di Pelabuhan Babang. Saya tiba di Pulau Bacan.

Pulau Bacan ini kecil. Satu jam menaiki angkutan umum ternyata sudah membawa saya ke Labuha di tepi pulau sisi yang berlawanan dengan sisi Pelabuhan Babang. Labuha yang merupakan ibukota Kabupaten Halmahera Selatan ini mungkin mirip dengan kota-kota kecil di Jawa Tengah atau Jawa Timur yang hanya punya beberapa jalan utama yang hanya butuh waktu yang relatif singkat untuk bisa mengelilingi kotanya. Di salah satu sudut kota kecil ini, ada Pasar Ikan yang selalu ramai. Nelayan yang berkapal besar menjual ikan-ikan tangkapannya di pasar ini, tapi ada juga Nelayan Hobi –begitu istilah saya untuk orang yang memancing hanya untuk penghasilan tambahan dan kesenangan- yang menenteng beberapa ekor ikan hasil tangkapannya di seutas kenur dan mencari pembeli di perjalanan pulangnya. Suatu kali ada bapak paruh baya yang meneteng seekor ikan Bubara yang panjangnya sekitar 40 cm, seekor Kepiting laut cukup besar, dan seekor Udang seukuran dua kepalan tangan orang dewasa. Saya menyapa, “itu ikan ngoni jual, Bapak?”, lalu dia menghampiri ramah dan menjawab, “iyo, ambe sudah limabelas ribu samua!”. Saya tercengang dengan harga yang disebutkan bapak itu. “Bagaimana bisa bahan makanan sebanyak itu dijualnya hanya 15.000 rupiah?” tanya saya dalam hati.

Halmahera Selatan punya potensi perikanan yang sangat tinggi. Namun sayang potensi itu belum digunakan dengan maksimal. Di sana ada pepatah: “Ikan tak perlu kau pancing pun, akan lompat ke demaga”. Masih sedikit sekali orang yang melakukan budidaya ikan. Ikan Kerapu besar sepanjang 40 cm bisa dijual hanya 10.000 rupiah per ekornya. Bagi orang yang gemar memancing, lautan di kepulauan Halmahera Selatan adalah surga memancing. Mulai dari ikan Cakalang kecil atau besar, sampai ikan Bubara atau Awakang yang ukurannya mencapai sebesar tubuh anak usia 10 tahun bisa dipancing. Mau memancing dari dermaga atau menggunakan ketinting bisa dilakukan. Mencari ikan dengan kail pancing biasa, sampai menggunakan tombak dan lampu semprong di malam hari juga bisa. Hampir semua cara menangkap ikan yang ada di sana sudah pernah saya coba, walaupun kita semua mungkin bisa menebak sebanyak apa ikan yang bisa ditangkap oleh seorang amatiran seperti saya.

Dari sebuah pelabuhan kecil di Labuha, berbaris belasan perahu motor kecil berkapasitas 20-30 orang yang merupakan transportasi umum ke pulau-pulau dan desa-desa di Kabupaten Halmahera Selatan. Kabupaten ini memiliki 400 pulau dan 78% wilayahnya adalah laut. Saya menaiki salah satu perahu motor yang akan berangkat menuju sebuah desa bernama Pelita. Dari Labuha, hanya ada 3 kali dalam seminggu perahu motor yang berangkat ke Desa Pelita. Perlu waktu 2,5 jam mengarungi lautan dan ongkos sebesar 20.000 Rupiah untuk sampai di pulau tempat Desa Pelita berada. Terkadang jika beruntung, di perjalanan-perjalanan berikutnya saat saya berkunjung ke Labuha, gerombolan Lumba-lumba akan mengikuti perahu motor yang saya tumpangi. Berputar-putar mengelilingi perahu sambil sesekali melompat memamerkan kelincahan mereka.

Desa Pelita

Desa kecil yang berpenduduk hanya sekitar 600 jiwa. Saat pertama kali perahu motor yang mengangkut saya merapat di Desa Pelita, saya ingat bagaimana anak-anak kecil bertelanjang bulat yang sedang berenang di pantai naik ke dermaga mengamati dengan serius seorang laki-laki dengan tas besar yang baru tiba di desa mereka. “Mas! Ada bajual apa?” (mas, jualan apa?) tanya seorang bocah keriting yang menghampiri saya. Saya bingung sesaat, lalu menjelaskan bahwa saya akan menjadi guru bantu di Pelita. Belakangan saya tahu bahwa yang biasanya datang membawa tas besar dan berasal dari Jawa adalah orang yang membawa dagangan seperti penjual baju, sepatu, mainan, tukang foto, tukang jahit, dan sebagainya. Di desa kepulauan dengan akses terbatas seperti Pelita ini, memang begitulah cara orang berdagang dan membeli barang.Tidak ada swalayan atau toko kelontong. Jadi setiap ada “mas dari jawa” yang datang membawa dagangan, pasti dermaga desa langsung ramai oleh warga yang ingin membeli ataupun orang yang hanya sekedar terlarut dengan antusiasme yang lain.

Desa ini terletak di bibir pantai sisi Timur Pulau Mandioli. Luasnya hanya sekitar 1 Km2 dibatasi oleh laut, dan hutan di sekelilingnya. Di bukit-bukit di dalam hutan, banyak terdapat kebun-kebun milik orang Pelita. Mereka menanam sagu, kelapa, jagung, sayur-sayuran, singkong, dan tanaman kebun lainnya. Selain untuk dijual, hasil kebun mereka juga untuk makan sehari-hari. Jika kita dua jam berjalan kaki dari Pelita masuk ke dalam pulau Mandioli, ada sepasang air terjun yang dikenal orang Pelita dengan nama Air Terjun Laki-laki, dan Air Terjun Perempuan. Airnya sejuk dan jernih. Konon, tebing terjunan dua air terjun ini dulu membentuk wajah seorang laki-laki dan perempuan. Dan yang membuat air terjun ini lebih menarik lagi, kita bisa memanjat dan melompat dari tebing terjunannya. Di bulan pertama saya tinggal di Pelita, beberapa anak SD dan SMP mengajak saya melihat air terjun. Kami berjalan melewati jalan setapak di hutan dan beberapa kali istirahat minum setiap bertemu sungai kecil. Dan tentu saja kami minum dari air sungai kecil yang jernih dan sejuk itu.

Di muka air terjun laki-laki, dibangun semacam bendungan kecil agar bisa dijadikan tempat berenang bagi orang yang datang. Orang Pelita sudah menjadikan air terjun ini sebagai tempat piknik sejak lama sekali. Jika ada hari libur nasional atau liburan sekolah, air terjun adalah pilihan favorit orang Pelita. Ratusan orang bisa memenuhiair terjun ini menikmati kebersamaan yang memang terasa kental sekali pada orang-orang di desa kecil kebanyakan.

Keluarga Besar

Mejalani setahun di Pelita, banyak hal unik yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Interaksi warga yang mengesankan saya pertama kali adalah sebuah kejadian sehabis ibadah sholat Jumat di suatu siang di mesjid desa. Ompala –begitu sebutan untuk Kepala Desa-, tiba-tiba bangkit sesaat setelah shalat Jumat berakhir dan berdiri menghadap jamaah yang diantaranya juga ada barisan perempuan di paling belakang. “Bapak-bapak dan Ibu-ibu semua, besok hari Sabtu kita semua tidak ada yang boleh kerja kebun atau mencari ikan. Besok semua libur dari pekerjaannya. Kita akan bergotong-royong mengambil pasir dari Pulau Ambatu untuk keperluan renovasi mesjid kita ini.” Lalu semua mengiyakan titah kepala desa ini dengan khas suara lantang orang Maluku Utara dengan berkata “Ole! Ole!” (iya! Iya!). Ini seperti yang saya baca di buku PPKN dulu. Kepala Desa dihormati dan memang dipandang sebagai seorang pemimpin, alih-alih hanya sebagai jabatan administratif. Di Pelita memang hanya saya dan guru-guru lain yang pekerjaannya terikat oleh aturan waktu. Selebihnya bekerja sebagai petani atau nelayan yang tidak punya bos yang mengatur jam kerja mereka setiap hari sehingga jika Kepala Desa memberi titah seperti pada sholat Jumat itu, semua akan menyanggupi dengan senang hati dan bersemangat.

Keesokannya, hari gotong royong. Pagi sekali saat saya keluar rumah untuk pergi mengajar terlebih dahulu di sekolah, warga yang terdiri dari bapak-bapak, ibu-ibu, dan pemuda sudah berkumpul di dermaga desa merencanakan strategi gotong royong hari itu sambil sarapan teh manis dan sagu yang disiapkan para ibu-ibu. Beberapa ketinting -perahu kecil selebar badan yang digerakkan motor kecil- milik warga disiapkan untuk bolak-balik mengangkut pasir dari pulau kecil di muka desa Pelita. Dari dermaga ke pintu masuk desa, karung-karung pasir akan dipikul oleh bapak-bapak dan pemuda dan disambung dengan ibu-ibu dan anak-anak perempuan yang siap dengan baskom, ember kecil, kaleng-kaleng susu untuk mengangkut pasir sedikit-sedikit ke mesjid yang berjarak 100 meter dari pintu masuk desa.

Hari itu entah kenapa saya tersenyum sepanjang hari menyaksikan orang-orang Pelita bergotong royong sambil berteriak (berbicara) penuh canda tawa dan sesekali bernyanyi lagu-lagu berbahasa Ternate. Sepulang mengajar, saya dan guru-guru lain bergabung dalam keceriaan Sabtu itu. Di Pelita, semua warga saling mengenal dengan baik. Suku mayoritasnya adalah suku Ternate dan hubungan kekerabatan antar sebagian besar penduduknya cukup dekat secara garis keturunan. Itu karena desa ini, menurut sejarahnya, dimulai oleh 8orang Ternate di awal tahun 1900-an yang merantau dengan perahu dayung lalu beranak-pinak di lahan yang sekarang bernama Desa Pelita.

Saya belajar banyak hal dari Desa Pelita. Salah satunya adalah tentang kebahagiaan dan kenikmatan sebagai seorang Indonesia. Keterpencilan Pelita, jaringan listrik PLN yang belum masuk, dan sinyal telepon seluler yang sangat sulit ditemukan ternyata memberikan saya visualisasi dari sifat yang mengalir dalam darah orang Indonesia: kekeluargaan dan gotong royong. Sifat asli itu memang akan selalu hidup, karena kita semua adalah keturunan orang-orang yang membangun negeri ini juga dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong.

Bebas Pengawet

Seumur hidup saya, rasa-rasanya baru dalam satu tahun selama di Pelita itu lah saya hidup dengan sangat teratur dan sehat. Tidak ada begadang bekerjasampai pagi karena tidak ada listrik mengalir yang bisa menemani aktivitas malam, setiap hari makan ikan segar pancingan dan sayur-sayur dari kebun yang diambil oleh ibu angkat saya, dan jam makan teratur karena aktivitas saya hanya di dalam desa kecil itu sehingga tidak ada istilah terlambat makan. Jika dulu saya makan ikandi Bandung, saya tidak pernah tahu dari mana ikan itu berasal, sudah berapa lama ikan itu mati, atau apa yang sudah mencemari ikan itu. Begitu pula dengan sayuran, hampir tidak pernah saya makan sayur yang saya tahu persis di mana sayuran itu ditanam. Tapi di Pelita, setiap hari saya makan makanan yang jelas dari mana asalnya. Ikan pasti dari hasil pancingan bapak atau orang pelita, dan sayur pasti dari yang diambil ibu di kebun. Suatu kali ibu angkat saya membuat gohu. Itu adalah nama masakan sejenis sashimi yang dibuat dari ikan mentah dengan kelapa parut dan bumbu tertentu. Saya sebetulnya tidak mau makan ikan mentah, tapi saat ibu membuat gohu dari ikan mentah pancingan bapak, saya coba makan dan ikannya terasa sangat manis, tanpa rasa dan bau amis sedikitpun. Kata ibu, itu karena ikannya benar-benar segar baru dipancing.

Di kesempatan lain di bulan-bulan awal saya, ada kisah tentang kue. Waktu itu hari Minggu pagi. Saya baru pulang dari kebun membantu bapak perbaiki pagar yang rusak diseruduk babi hutan. Lalu ibu menawari saya, “Dika, kamu mau sarapan kue Nagasari?” Yang saya tahu, Nagasari adalah kue bebahan dasar sejenis tepung yang di dalamnya ada potongan pisang dan dibungkus oleh daun pisang. Saya menjawab pada ibu,”Mau Bu, 3 buah ya!” Lalu ibu terlihat heran dan menyarankan saya untuk hanya makan satu Nagasari. Saya berpikir, “mungkin Nagasari yang ibu buat hanya ada sedikit, tak apa lah.”Sekembalinya ibu dari dapur membawa Nagasari untuk saya dan bapak, saya baru paham kenapa ibu hanya menyaranan saya untuk makan hanya satu Nagasari. Nagasari di Pelita ternyata kue yang tidak sama persis dengan Nagasari bayangan saya. Bedanya, Nagasari Pelita ini berukuran selebar piring makan dan di dalamnya bukan diisi dengan potongan pisang melainkan dua buah Pisang Raja utuh! Saat saya ceritakan bayangan tentang Nagasari di kepala saya pada ibu dan bapak, kami semua menertawai pagi hari yang hangat itu.

Karang dan Pulau Babating

Kehidupan di desa kecil seperti Pelita memang jauh sekali berbeda dengan Jakarta. Di Pelita waktu seolah tidak mengejar, tidak ada orang stress, semua kebahagiaan tercukupi oleh alam. Jika pagi hari hujan lebat, para petani bisa menunda berangkat ke kebun, jika sore hujan, para nelayan bisa mengganti jadwal “dinas” menjadi malam hingga dini hari. Saya belajar banyak dari kehidupan Pelita dimana orang-orang punya banyak waktu untuk orang lain, dan untuk syukuri alam Indonesia. Saya menikmati setiap detik di sana untuk belajar dan melihat Indonesia dari sudut lain yang tak terbayangkan sebelumnya.

Selain sepasang air terjun di dalam hutan, ada banyak sekali lokasi lain yang bisa dinikmati. Snorkeling merupakan aktivitas rutin saya bersama anak-anak di hampirsetiap akhir pekan. Tidak usah jauh, di sepanjang bibir pantai Pelita saja saya sudah puas menikmati beragam karang warna-warni dan tak terhitung ikan-ikan cantik yang sebelumnya hanya pernah saya lihat di akuarium atau di televisi. Ada juga satu pulau indah bernama Babating yang jadi tujuan kala warga Pelita punya perayaan khusus. Saya cukup beruntung karena menjelang akhir dari satu tahun penugasan saya di Pelita, warga dan anak-anak merencanankan piknik perpisahan ke Pulau Babating.

Piknik yang melibatkan orang se-desa seperti kali itu sudah sering dilakukan orang-orang Pelita jika ada yang dirayakan. Sehari sebelum piknik, ibu-ibu di Pelita punya tradisi berkumpul di rumah salah satu warga untuk memasak dan menyiapkan bahan makanan untuk bekal piknik desa. Yang laki-laki biasanya menyiapkan perahu motor dan alat-alat musik untuk dibawa saat piknik.

Waktu itu hari Kamis dan kebetulan tanggal merah di kalender. Sejak pagi sekali, murid-murid saya sudah menunggu di depan rumah saya tidak sabar untuk berangkat. Ibu-ibu mengisi perahu motor Pelita yang akan kami naiki dengan makanan dan minuman. Lalu orang-orang desa mulai ramai di dermaga bersiap untuk berangkat. Perjalanan ke Pulau Babating kami tempuh selama dua jam menggunakan dua perahu motor dari Pelita yang beriringan lengkap dengan riuh suara anak-anak bernyanyi. Saat itu, sekitar 200 orang warga Pelita, tua dan muda, ikut piknik ke Pulau Babating.

Kami merapat di salah satu sisi pulau yang membuat saya berdecak kagum. Seperti kebanyakan pantai di kepulauan Halmahera Selatan ini, pantai Babating juga tidak berombak besar. Saya ingat jelas saat itu seperti masuk ke dalam kolam renang rasanya. Dari bibir pantai Babating sampai kira-kira 70 meter ke arah laut, tinggi air laut hanya sebatas dada orang dewasa dengan pasir putih bersih sebagai alasnya. Airnya luar biasa bening. Kolam renang raksasa air asin itulah tempat kami berenang saat baru tiba. Menjelang siang, saya dan anak-anak juga warga yang lain naik ke pantai pasir putih yang cukupluas untuk bermain bola. Seperti punya pulau pribadi yang semua orang di dalamnya adalah orang yang saya kenal dekat, keluarga baru saya di Pelita.

Di tengah permainan bola, ibu-ibu berteriak memanggil rombongn untuk makan. Di pinggir pantai, di bawah pohon kelapa yang teduh, sudah siap berbagai ikan panggang, sagu, singkong rebus, pisang rebus, sayur daun singkong dan sayur bunga pepaya yang ditata rapi oleh ibu-ibu di atas taplak daun pisang yang disusun memanjang. Cantik sekali. Saat itu saya bahagia sekali di penghujung masa tugas di Pelita, terlebih karena suasana yang begitu hangat dan menyenangkan. Seperti liburan keluarga besar, besar sekali, yang mulai dari kakek nenek hingga cucu dan cicit hadir dan bersenang-senang bersama.

Rumah Kedua

Merasakan kehidupan Desa Pelita selama satu tahun, mengajar di sekolah, bersosialisasi dengan orang-orang Pelita, belajar berbagai macam tradisi dan kebudayaan baru, dan mensyukuri alam Indonesia, telah menjadikan Desa Pelita sebagai kampung saya. Kuatnya ikatan yang terbangun dari interaksi yang itens sebagai ciri khas kehidupan di desa kecil telah membuat saya menganggap orang-orang di Pelita sebagai keluarga saya, dan begitu juga sebaliknya.

Ini mungkin yang disebut dengan tenun kebangsaan, saat orang bersuku Minang yang lahir dan besar di Bandung seperti saya bisa merasakan hangatnya suasana rumah di desa kecil di timur Indonesia.Merajut tenun kebangsaan saat ini merupakan barang mahal di tengah berbagai peristiwa memprihatinkan yang kita alami sebagai bangsa yang kaya akan perbedaan. Menikmati Indonesia dari Pelita bernilai lebih dari sekedar melihat alam dan budayanya, tapi juga tentang mengenal saudara sebangsa yang sama-sama hidup dari tanah dan air Indonesia, di sepanjang nusantara.

Sekarang saya juga punya banyak keluarga baru. Saya punya bapak angkat bernama Rusdi, Ibu angkat bernama Sadia, dan adik-adik angkat bernama Hairil, Amrul, Suhaiba, dan Galang. Anak-anak di Pelita, murid-murid saya, yang dalam satu tahun sudah memberi saya segudang pelajaran berharga, kini sudah saya anggap adik sendiri. Juga setiap orang di Desa Pelita yang sudah terasa seperti saudara untuk saya.

Beberapa bulan sekembalinya saya ke Jakarta karena berakhirnya masa tugas saya di Pelita, saya mendapat telepon dari Pak Rusdi dari Pelita yang berhasil menemukan sinyal telepon seluler di bukit. Setelah saling bertanya keadaan dan melepas rindu, Pak Rusdi mengakhiri percakapan dengan bertanya, “kapan pulang lagi ke Pelita?” Lalu saya jawab, “insyaAllah tahun depan saya pulang lagi”. Setelah telepon berakhir, saya baru tersadar, Pak Rusdi bilang “pulang”, dan saya juga menjawab tanpa merasa ada yang janggal. Ya, memang tidak ada yang janggal karen sampai kapanpun Desa Pelita akan selalu jadi rumah kedua untuk saya.

Terimakasih Pelita, telah mengajarkan saya begitu banyak hal dari ujung republik ini, dan membuat saya belajar menjadi Indonesia.

Wednesday, June 15, 2011

7 Bulan Luar Biasa

Rasa-rasanya baru bulan lalu saya dan teman-teman PM1 diberangkatkan ke tempat penugasan, ternyata waktu terbang tak terasa sudah masuk bulan ke 8 kami bertugas di desa masing-masing. Banyak pengalaman yang saya alami selama di Pelita. Senang, sedih, marah, kesel, iba, semua perasaan sepertinya penah menemani keseharian saya selama di Pelita. Ini adalah catatan singkat tentang pencapaian tugas saya sebagai Pengaja Muda Gerakan Indonesia Mengajar di tempat penugasan selama 7 bulan.

Kurikulum dan manajeman sekolah.

Rasanya jika dilihat dari jam mengajar, saya sudah jauh melampaui jam minimal yang diarahkan kepada PM. Saya lebih tertarik menceritakan perubahan yang pelan-pelan sudah terlihat sekarang. Pada waktu awal saya mulai mengajar di Pelita, situasinya tidak berbeda jauh dari kebanyakan teman-teman PM Halsel. Guru yang ada Cuma 5 termasuk saya. Proses belajar mengajar “semiformal” karena tidak ada pengawasan akibat kekacauan yang terjadi pada level Dinas Pendidikan sampai UPTD. Semua dianggap berjalan baik-baik saja karena tidak pernah ada yang protes tentang pendidikan di Pelita. Guru-guru kekurangan sumber mengajar dan juga kompetensi. Tatap muka dengan siswa tidak intensif karena jumlah guru kurang dan itu tadi : kekurangan sumber dan kompetensi. Belum lagi soal dagelan Ujian Nasional yang saya yakin pasti mengiris-iris perasaan guru-guru yang masih percaya dan memegang teguh substansi pendidikan di Negeri ini.

Saya diuntungkan karena memiliki Kepala Sekolah yang punya semangat perubahan dan kebetulan merupakan salah satu tokoh desa Pelita. Selama saya mengajar kelas 5, saya sebisa mungkin menerapkan semua hal yang saya terima selama training PM. Dari mulai manajemen kelas sampai membangun kedekatan dengan orangtua murid dengan cara berkeliling rumah ke rumah setiap 3 bulan sekali. Hal itu mulai membuat Kepala Sekolah membicarakannya di rapat guru dan mendorong guru-guru lain untuk mengikuti yang saya lakukan. Sering sekali saya bertukar informasi tentang keberjalanan sekolah dengan guru-guru di sekolah. Dengan keterbatasan yang dimiliki guru-guru, sebisa mungkin saya menjelaskan signifikansi manajemen sekolah dan kelas yang baik pada kualitas output pendidikan. Saya tau, apa yang saya hadapi membutuhkan kesabaran dan konsistensi untuk mengubahnya. Sulit rasanya membayangkan perubahan besar akan terjadi dalam waktu satu-dua bulan, tapi saya yakin konsistensi akan membuahkan hasil yang lebih permanen.

Syukurlah, ternyata apa yang saya harapkan mulai terlihat hasilnya di akhir semester genap ini. pada rapat kenaikan kelas yang harusnya hanya membahas kenaikan anak, rapat juga akhirnya membahas hal-hal substansial pendidikan di Pelita. banyak yang saya utarakan dan bertentangan dengan apa yang selama ini dilakukan di Pelita. Saya keluarkan semuanya karena saya punya feeling kalau momen itu sangat pas. Gayung bersambut, momennya benar-benar pas ternyata. Seorang guru PNS yang baru ditugaskan di Pelita ikut menimpali dan mengutarakan keinginan-keinginannya tentang perubahan. Dengan jumlah guru yang sekarang pas untuk memegang masing-masing kelas, saya pikir ini potensi yang baik untuk lompat satu level. Kepala Sekolah tegas mengatakan ingin perubahan di sekolahnya dalam hal kualitas. Sebuah poin spesifik tentang makna “membantu anak” cukup jadi perbincangan panjang. Saya berusaha menekankan bahwa membantu anak dan menjerumuskan mereka itu tipis. Pragmatisme membuat guru-guru Pelita kadang sulit mengerti. Anak-anak yang dibantu naik kelas terus membuat akhirnya ada kelas 5 atau 6 yang belum lancar membaca. Akhirnya UN pun dibantu, begitu terus sampai akhirnya guru menimbun akumulasi dosa kita karena telah mengurung potensi anak untuk berkembang karena tidak pernah terpacu. Wajar saya pikir keadaan seperti itu di Pelita. Semuanya punya hubungan keluarga, pengawasan kurang, dan yang paling gawat adalah pemikiran bahwa selama ini juga aman-aman aja kok. Salah satu faktor yang biasanya membuat sekolah-sekolah di desa takut menahan siswanya tinggal kelas adalah tekanan masyarakat. Tapi syukurlah, di rapat siang iti Kepala Sekolah mengarahkan satu hal : mulai sekarang, guru kelas punya wewenang penuh untuk menilai anak dan menentukan kenaikannya. Tidak ada yang bileh intervensi bahkan jika itu anaknya kepala desa atau pak Imam sekalipun. Kepala sekolah juga bilang bahwa kita akan bilang kepada orang Pelita, SDN Ambatu/Pelita mulai sekarang akan berbeda dari sebelumnya. Masyarakat harus paham posisinya dalam pendidikan, dan itu akan terwujud kalau kita bisa tegas. One very good point : Kepala Sekolah berani pasang badan badan menghadapai tekanan orangtua murid.

Saya sebagai wali kelas 5 tidak menaikkan 4 orang siswa dari 24 siswa kelas 5. 3 orang diantara mereka karena belum lancar membaca dan menulis. Sementara seorang lagi adalah Ismail. Saya pernah membahas sedikit tentang Ismail ini di entry sebelumnya. Bakat anak ini luar biasa, tapi dia hampir 3 bulan tidak masuk sekolah dan kemampuan baca tulisnya kurang lancar karena faktor gangguan matanya. Saya pikir, selain karena nilai, akan sangat sayang jika Ismail saya paksakan naik ke kelas 6. Saya takut bisa-bisa bakatnya justru akan terus-terusan tersimpan karena dia terpaksa harus menerima pelajaran kelas 6 dan setengah mati mengikuti standarnya. Anak-anak yang tidak naik adalah hutang saya, wali kelas. Siswa tidak naik itu artinya wali kelas masih gagal membuat mereka memenuhi standar untuk naik kelas. Oleh karena itu harusnya anak-anak yang belum bisa naik dipertanggungjawabkan oleh wali kelas dengan mempersiapkan mereka lebih baik supaya bisa naik kelas di tahun berikutnya.

Dengan penjelasan seperti itu, dan kedekatan saya dengan semua orang tua kelas 5, saya yakin bahwa saya akan bisa membuat orang tua mengerti kenapa anaknya belum bisa naik kelas. Dan mudah-mudahan justru akan membuat mereka lebih memperhatikan lagi pendidikan anak mereka.

Di awal tahun ajaran baru nanti, guru-guru sudah besepakat dan berkomitmen akan melakukan perubahan dalam mengajar di kelas. Saya diminta memberikan sedikit sharing dan membuat semacam SOP yang mudah dipahami dan dilaksanakan oleh setiap wali kelas. Dari mulai instrumen yang harus dipegang guru kelas seperti target semester, target bulanan dan mingguan, RPP sederhana, manajeman kelas yang ceria dan bersemangat, sampai manajeman sekolah tentang performa guru. Agenda ini sudah disepakati juga pada rapat guru dan dijadwalkan di minggu pertama tahun ajaran baru. Tujuannya supaya minimal semua wali kelas punya pegangan yang sama dalam menjalankan proses belajar mengajar di kelas. Apalagi sekarang guru sudah cukup untuk memegang masing-masing satu kelas.

Ekstrakurikuler

Dimensi program PM poin ini belum punya signifikansi hasil. 7 bulan kemarin saya lebih tertarik membangun kedekatan dengan siswa SMP dan SMA melalui kursus komputer dan bahasa Inggris yang saya berikan. Dari awal memang saya berrencana memberdayakan remaja-remaja ini untuk nantinya aktif di kegiatan ekstrakurikuler SD. Saya pikir akan lebih sustainable nantinya.

Pembelajaran Masyarakat

Yang reguler adalah mengajar Bahasa Inggris di SMP dan membuka kursus komputer untuk SMP dan SMA. Untuk Bahasa Inggris, saya membantu SMP untuk menjadi guru mata pelajaran yang mengajar sore. Sementara kursus komputer saya buat di perpustakaan desa. Kurang lebih sudah 60 orang anak SMP dan SMA yang sudah mengikuti kursus dasar komputer ini.

Selain itu, saya juga membangun perpustakaan desa. Kepala desa mengizinkan saya menggunakan ruang bekas kantor dharmawanita untuk dijadikan perpustakaan. Berkat bantuan buku dan teman-teman Indonesia menyala dan teman-teman satu kampus, alhamdulillah sekarang perpustakaan sudah buka setiap hari dan memiliki banyak buku-buku berbagai jenis. Peminatnya mulai dari anak-anak SD sampai bapak-bapak ibu-ibu sering duduk membaca di perpustakaan. Nantinya, perpustakaan akan dikelola oleh OSIS SMP dan diawasi oleh Dewan Guru SMP. Sejak awal, saya memang sudah melibatkan anak-anak SMP dalam membangun dan mengisi perpustakaan. Mereka yang mendata buku-buku bantuan dan menyusun letaknya. Saya ingin perpustakaan ini menjadi agenda turun temurun OSIS SMP dibawah pengawasan sekolah dan desa.

Advokasi Pendidikan

Dimensi program PM poin ini sepertinya sejauh ini berjalan sangat baik. Agenda PM Halsel untuk poin ini cukup banyak dan mendalam. Yang terakhir, kami diundang untuk membantu Kepala Dinas Pendidikan yang baru, Pak Budi, untuk menyelenggarakan pra-rakerda dan rakerda Dinas Pendidikan Halsel yang hasilnya dijadikan input untuk membantu Pak Budi membuat perubahan-perubahan melalui Dinas Pendidikan yang dipimpinnya. Makin kesini, makin banyak orang-orang visioner di level birokrasi yang muncul. Diantaranya ya Pak Budi ini dan Sekda yang juga baru diangkat, Pak Amin. Ide-ide yang kami punya serasa punya wadah yang pas sekarang. Mudah-mudahan hubungan kerja yang positif antara PM dan Dinas Pendidikan bisa terus menghasilkan sesuatu sampai akhir penugasan untuk terus dilanjutkan.

**
Sepertinya cukup untuk sementara. Ini adalah beberapa catatan yang saya rasa penting untuk saya share. Time flies, really fast. Mudah-mudahan saya dan semua PM tetap punya kemampuan untuk percaya pada Indonesia. Karena sejauh ini yang saya rasakan, kemampuan itulah yang menjaga saya untuk tidak menyerah, segelap apapun, sesulit apapun.

But now is time for a little break. Selama berlibur juga untuk teman-teman PM yang lain. Mudah-mudahan kita akan pulang ke desa lagi dengan membawa segudang tambahan ide dan energi untuk diterapkan di desa masing-masing. Jaga kesehatan guys!:)

HostFam, Keluarga Rusdi Salim

Post ini adalah cerita tentang pengalaman saya bersama keluarga angkat saya di Pelita, keluarga Rusdi Salim. Sepertinya saya belum menceritakan tentang keluarga ini selain pengenalan anggotanya di beberapa post sebelum ini. Lagipula mungkin kemarin-kemarin saya belum punya banyak yang diceritakan tentang keluarga ini.
Saya akan mulai dari pak Rusdi, kepala keluarga, yang kebetulan juga kepala sekolah SD. Pak Rusdi ini badannya besar, mukanya sangar, dan berambut cepak. Cocok lah untuk pemeran penculik atau bodyguard di film-film. Tapi biarpun berperawakan seperti itu, dia sangat dekat dengan anak-anak, terlebih sebagai seorang kepala sekolah. Di Pelita, pak Rusdi termasuk salah satu pemuka desa yang disegani masyarakat desa. Sehari-hari, sepulang sekolah biasanya pak Rusdi pergi mengurus kebun atau melakukan hobinya: memancing. Oh, kira-kira bulan keempat saya di Pelita, saya pernah pergi memancing berdua dengan pak Rusdi. Sekitar jam 4.30 sore kami berangkat melaut menggunakan ketinting (perahu kecil bermotor). Sampai di spot memancing, kami buang jangkar dan mulai menyiapkan umpan (ikan kecil) yang sebelumnya kami minta dari tetangga yang pulang menjaring ikan kecil. Sore itu ikan yang jadi target adalah ikan Gurara, begitu orang sini menyebutnya. Matahari hampir terbenam saat kami mulai melempar mata kail ke laut. Sambil memancing, pak Rusdi cerita kalau ikan Gurara ini baru akan makan umpan kita tepat saat matahari terbenam. Jadi ada sekitar 10 menit selang waktu dimana ikan Gurara akan memakan umpan kami. Ternyata itu sebabnya kami berangkat sore sekali dan kail yang dipasang di satu benang nilon sampai 3 buah. Karna Ikan Gurara ini sepertinya buka puasa saat matahari terbenam. Sore itu saya dapat 2 ekor ikan gurara, pak rusdi dapat 9. Karna tiba-tiba hujan besar, kami memutuskan untuk pulang. Sempat ada kejadian seru saat mesin ketinting tidak mau hidup sementara hujan besar sekali. Karna licin, beberapa kali perhu kami hampir terbalik karna pak rusdi dan saya bergantian memutar mesin yang harus ditarik sekuat tenaga supaya hidup. Setelah hidup pun, saya tidak tau arah pulang karna gelap dan hujan lebat mengganggu pandangan. Tapi untunglah saya pergi bersama orang yang besar di laut sekitar Pelita, somehow pak Rusdi tau harus mengarahkan ketinting kemana hingga kami selamat pulang sampai Pelita.
Sampai di rumah, jam 8 malam, setelah “memarkir” ketinting di dermaga, saya dan pak Rusdi pulang dalam keadaan basah kuyup dan membawa ikan. Ya, membawa ikan. “yang penting kitong bawa ikan lah supaya ibu tara marah pa kitorang..haha” begitu kata pak rusdi dalam perjalanan pulang malam itu. Benar saja, baru mengetok pintu belakang, bu Rusdi sudah terdengar ngomel dari dalam. Tapi begitu buka pintu dan pak Rusdi menyodorkan ikan 11 ekor yang masing-masing panjangnya sampai 30 cm, simsalabim, bu Rusdi langsung berhenti ngomel lalu langsung memboyong ikan ke dapur untuk di bakar. Pak Rusdi dan saya cekikikan. :D
Bu Rusdi ini memang terkenal galak di kalangan anak-anak desa. Yah, mungkin tipe ibu-ibu yang cerewet kalo sama anak-anak. Tapi sebenarnya dia baik. Seperti orang desa kebanyakan, bu rusdi sangat ringan tangan dan sering berbagi. Di rumah, saya makan teratur sekali. Sarapan biasanya kue basah khas maluku utara, lalu pulang sekolah ibu biasanya sudah masak, ikan tentunya, dan habis magrib makan malam sudah siap. Bu Rusdi jago masak, ini bikin saya inget sama mama. Hehe. Bu Rusdi punya banyak jenis masakan ikan mulai dari ikan goreng di macem-macemin, bakar, sampai ikan fufu (asap) dimacem-macemin. Belum aneka kue tradisional yang enak-enak semua. Yang paling saya suka adalah pisang ijo. Iya, memang tanpa “es” karena ga ada lemari es di Pelita. tapi jangan salah, pisang raja dari kebun sendiri yang super nampol sama saos bikinan Bu Rusdi ngalahin rasa semua pisang ijo yang pernah saya makan. Melihat Pak Rusdi dan istrinya ini seru. Kadang kalo pak rusdi pulang mancing kemaleman, bu rusdi bisa ngomel-ngomel. Tapi sesaat setelahnya sambil makan malem, mereka udah bisa asik aja ketawa-ketawa, kenceng banget, seperti orang Maluku kebanyakan. Mereka senang kalo saya mulai tanya-tanya apapun tentang Pelita dan Maluku Utara. Ya bahasa, tradisi, ataupun silsilah keluarga. Biasanya itu jadi topik obrolan kami pagi-pagi.
Di rumah juga tinggal 3 dari 4 anak Pak Rusdi dan seorang keponakannya. Anaknya yang paling tua sedang kuliah di Ternate. Yang kedua namanya Khairil Rusdi. Habis ditolak sekolah kepolisian karna umurnya masih kurang beberapa bulan. Jadi sambil menunggu tahun berikutnya, Khairil tinggal di Pelita. Keponakan Pak Rusdi namanya Juanda. Dia berumur dibawah Khairil dan masih kelas 2 SMA. Namanya juga remaja, khairil dan Janda ini lagi mulai semangat-semangatnya mengenal perempuan. Sepertinya dua-duanya sama-sama punya “teman” diluar Pelita. hampir setiap malam mereka pasti keluar ke dermaga desa untuk sms atau telfon. Biasanya mereka pulang lebih larut daripada saya. Dan kalau sudah terlalu larut biasanya mereka bakal mengetuk jendela kamar saya minta dibukain pintu. Bu rusdi selalu terbangun kalau pintu depan terdengar dibuka. “Siapa itu?” kalau yang jawab Juanda atau Khairil, Bu rusdi pasti ngomel. Jadi seringnya saya yang jawab, “Dika bu..” dan mereka pun selamat. :D
Suhaiba Rusdi, anak ketiganya pak Rusdi masih sekolah kelas 2 SMP. Di bawahnya lagi ada galang, nama aslinya Khairul Amin Rusdi dan masih berumur 4 tahun. Sebagai anak perempuan, Eba -panggilan Suhaiba- lah yang membantu bu Rusdi soal urusan dapur. Dia juga paling kompak dengan Galang, tapi juga paling usil dan sering bikin Galang nangis. Galang ini sidah pintar menghidupkan leptop saya, lalu biasanya minta diputarkan film perang. Anak seumur dia memang cepat mempelajari hal baru. Kamera saya sudah bisa saya pinjamkan ke Galang tanpa khawatir karna dia sudah tau cara mengoperasikannya dan paham kalau tangannya harus dikaitkan ke tali pengaman dan lensanya tidak boleh dia pegang. Saya sering teringat Iki, keponakan saya yang tinggal sama mama di rumah. Dia juga dari kecil sudah pinter macem-macem. Kalau sedang berjalan-jalan. Galang paling suka saya sompong –istilah orang Pelita untuk menggendong anak di sebelah pundak.
Saya senang karena saya merasa sudah dianggap seperti keluarga sendiri olah keluarga Pak Rusdi. Bukan lagi dianggap tamu dari kota yang lagi bertugas di Pelita. Interaksi saya dengan mereka menunjukkan hal itu. Keluarga ini hangat dan ceria. Yang sejauh ini bisa saya lihat, kehidupan di desa memang jauh dari tekanan. Ini berimbas ke perilaku manusia-manusianya. Orang-orang yang hidup tanpa rasa tertekan akan lebih rileks menjalankan kehidupannya. Orang-orang yang jauh dari tamak karena merasa apa yang mereka punya sudah lebih dari cukup. Orang-orang yang kemampuan untuk merasakan kebahagiaannya lebih tinggi daripada orang di kota kebanyakan. Saya yakin, itu pasti jadi salah satu penyebab kenapa keluarga Pak Rusdi hangat san ceria.
Dari keluarga ini saya belajar tentang kesederhanaan dan kemampuan bersyukur. Bisa makan ikan setiap hari, tidur dibawah atap walaupun dengan kasur tipis, rasanya cukup. Tak perlu lah mengutuki listrik PLN yang tak kunjung masuk atau sinyal HP yang tidak ada di desa. Tidur malam dengan gelap gulita rasanya juga lebih sehat. Siang hari tidak ada TV dengan sinetronnya juga rasanya lebih baik bagi anak-anak membuat mereka bermain diluar, berinteraksi dengan anak-anak lain. Banyak ternyata nilai dari kesederhanaan yang saya lupa atau bahkan mungkin tidak pernah sebegininya merasakan. Di Sini, kebahagian terlihat lebih luas.
Saya sekarang jadi lebih mengerti arti kalimat “kebahagiaan itu bukan dicari, tapi diciptakan.” Belajar banyak dari orang-orang di desa Pelita tentang arti kebahagiaan. Mungkin, saat semua orang mampu menciptakan kebahagiaannya sehingga apa yang dia lakukan dilandasi perasaan bahagia yang sebenarnya, saya pikir Indonesia pasti bisa menyelesaikan semua permasalahannya.
“and happiness only real when it shared...”

Sunday, February 13, 2011

Anak Berbahasa Angka

“Pa guru! uba kita pe luka dulu!”
(Pa guru! obati luka saya dulu!)

Itu adalah kalimat yang dulu selalu dilontarkan Upi setiap bertemu saya. Sepertinya, kegiatan saya mengobati luka anak-anak baik yang ringan maupun yang parah begitu menarik buat Upi. Kadang dia membuat gambar di kakinya seolah-olah kakinya luka dan ingin saya obati juga. Upi ini anak kelas 2 SD. umurnya baru 7 tahun. Tingkahnya menunjukkan bahwa dia kurang perhatian dan kasih sayang. Setiap habis solat magrib berjamaah di mesjid, Upi selalu baru berhenti mencium tangan saya saat teman-temannya sudah marah karena dia terlalu lama mencium tangan saya. Setiap habis sholat magrib itu, saya selalu membiarkan Upi mencium tangan saya lama-lama. Ada perasaan kasihan dan simpatik. Sepanjang jalan keluar masjid, Upi selalu merangkul sebelah kaki saya sambil berjalan. Dan sebelum dia pulang, sekali lagi dia pasti bilang, “nanti uba kita pe luka dulu ya pa guru!”

Belakangan saya tahu kalau ternyata Upi ini adik dari Kurdi, salah satu murid saya kelas 5. Itu menjelaskan kenapa Upi selalu ada di momen-momen kelas 5. Di rumah hanya ada neneknya yang sudah sangat tua dan harus mengurus 7 cucu nya. Jadi setiap kali kurdi pergi, Upi selalu ikut. Orang tua kurdi tinggal di Labuha. Saya belum tahu persis kenapa Kurdi dan Upi tidak tinggal bersama kedua orang tuanya di Labuha, tapi yang jelas, Upi dan Kurdi sangat jarang bertemu kedua orang tuanya. Saya pikir keadaan itu cukup menjelaskan kenapa Kurdi tumbuh jadi anak yang sering mencari perhatian di kelas alias bandel dan Upi menjadi manja dan haus kasih sayang. Tapi saya tahu sebenarnya mereka berdua adalah anak-anak yang manis. Buktinya saja setiap malam mereka pasti main ke rumah untuk belajar atau bahkan sekedar ingin tahu apa yang saya kerjakan di kamar. Kalau saya perbolehkan masuk kamar untuk melihat, tanpa saya sadar, sering kali mereka membereskan kamar saya. Terlihat bahwa mereka ingin membuat saya senang.

Tiga hari yang lalu, sore hari saat sedang mengerjakan sesuatu di kamar, tiba-tiba Bahtiar datang nongol di jendela kamar bilang kalau Ayono, ketua kelas 5, kakinya terpotong dan berdarah banyak. Saya langsung berlari ke rumahnya sambil membawa perlengkapan P3K. Ayono, Kurdi dan Upi tinggal satu rumah bersama nenek mereka. Ayono ini sepupu Kurdi dan Upi. Tapi bedanya, orang tua Ayono masih tinggal di pelita. Rumah orang tuanya terletak di pinggir desa sehingga menurut orang tuanya lebih baik Ayono tinggal bersama neneknya di dekat sekolah. Kembali ke kaki terpotong, singkat cerita, karna ternyata ada pembuluh darah yang putus di kaki Ayono sehingga darahnya mengucur deras tidak berhenti, saya memutuskan untuk mengevakuasinya ke Desa tetangga, Indong, yang memiliki fasilitas Puskesmas dan perawat. Lukanya harus dijahit. Saya meminjam ketinting penduduk dan berangkat ke Indong. Ayono mendapat 3 jahitan didalam dan 8 diluar. Si Ketua kelas ini tidak menangis sedikitpun dengan luka separah ini. anak desa.

Besok malamnya saya menjenguk Ayono ke rumah orang tuanya di pinggir desa. Kurdi dan Upi menemani saya berjalan ke rumah Ayono. Sepanjang jalan saya menemukan hal yang sangat menarik buat saya. Upi ini sepertinya berbakat dengan angka-angka. Waktu itu saya iseng memberikan soal-soal matematika pada kurdi. Perkalian, pembagian dan penjumlahan. Sepanjang jalan saya main “tebak-tebakan” dengan Kurdi. Begitu saya kasih pertanyaan pengurangan 63-22, tidak sampai 3 detik saya mendengar suara Upi keras “41 pa guru!!”. Saya kaget. Upi yang sebelumnya hanya mengikuti kami berjalan sambil menggumam sendiri tiba-tiba menjawab pertanyaan saya dengan sangat cepat untuk ukuran anak kelas 2 SD. Bahkan dia menjawab sebelum Kurdi menjawab. Lalu saya coba lagi, “berapa 76-33 Upi?”, “43??” Upi menjawab dalam waktu beberapa detik saja. Setiap kali saya bilang betul dengan begitu semangat, Upi dengan lucunya selalu bertepuk tangan dan loncat. Tapi saat beberapa kali jawabanya salah karena kelebihan 1 atau kurang 1, dia selalu menepuk-nepuk jidatnya dengan tidak kalah lucunya. Saya sempat penasaran bagaimana cara Upi menghitung begitu cepat. Dia bahkan tidak menggunakan jari-jarinya. Belakangan saya temukan, Upi tidak memerlukan waktu untuk menjawab 75-15, 53-23, dan 44-14. Dia sudah mampu membayangkan bahwa bilangan yang ujungnya sama itu jika dikurangkan pasti hasilnya akan genap puluhan. Dan dia menggunakan bayangan itu untuk menjawab 76-33. Dia mengasumsikan pengurangnya adalah 36 sehingga dia tau jawabannya pasti empat puluh sekian. Barulah dia menambahkan 40 dengan 3 (selisih antara 36 dan 33). Setelah saya mengetahui cara yang dipakai bocah 7 tahun ini, barulah saya sadar kenapa Upi biasanya salah pada soal pengurangan yang angka belakang bilangan pengurang lebih besar daripada angka belakang bilangan awalnya seperti 33-16, 75-27, dan 66-19. Di rumah Ayono, sambil menjenguk Ayono, saya tidak bisa berhenti bermain dengan Upi. Kurdi bilang pada saya bahwa adiknya itu memang jago penjumlahan. Dia “akrab” dengan angka-angka.

Saya tertarik mengeksplor sejauh mana Upi berbakat dengan angka-angka. Saya ajari dia pembagian. Saya tanya “berapa 10 : 2?”, upi menjawab 8. Dia kira masih soal pengurangan. Lalu saya ceritakan pada Upi bahwa 10 : 2 itu ibaratnya Upi dan Kurdi pergi memancing dan mendapat 10 ikan. “Berapa ikan yang didapat masing-masing orang?”. Upi langsung cepat menjawab “5!!oooh..tau tau pa guru!”. saya kasih lagi beberapa soal pembagian ringan dan Upi menjawab soal-soal itu dengan semangat dan selalu meminta saya memberinya soal lagi. Saya juga ajari dia garis bilangan. Sekarang dia sudah tahu bahwa 2-5 itu -3. Dia sekarang sudah tahu bahwa 2-5 itu membuat orang harus berhutang 3. Dan hutang itu adalah tanda negatif (min).
Untuk anak berumur 7 tahun dan baru duduk di kelas 2 SD, saya pikir Upi ini sangat berbakat dengan angka-angka. Saya ingat mama selalu bisa membuat anak-anaknya senang matematika. Mama punya seribu satu cara mengajari anak-anaknya matematika. Rizky, anaknya Mba Minah yang sekarang tinggal bersama mama juga mendapatkan hal yang sama dari mama. Dari kecil dia sudah senang matematika. Tapi Upi ini tidak kenal dengan mama saya. Dia bahkan jarang sekali bertemu mamanya sendiri. Tapi dia dikaruniai bakat dengan angka-angka. Apa jadinya dia kalau kenal sama mama saya.

Sekarang, setiap bertemu saya Upi tidak lagi meminta pura-pura diobati lukanya. Sekarang setiap bertemu saya dia selalu bilang “kase kita kurang-kurang tambah-tambah dulu pa guruu!!” sambil berlari menghampiri dan memeluk sebelah kaki saya.

Upi, si anak berbahasa angka. Sekarang setiap saya sedang sendiri dan terbayang Upi dengan wajah polos dan kecerdasannya, rasanya saya ingin menangis jika membayangkan anak sekecil itu tidur setiap malam tanpa ditemani Ibunya. Bangun setiap pagi hanya tahu bahwa dia harus pergi ke sekolah. Tidak ada yang mencium dia, atau bahkan mungkin sekedar mengusap kepalanya. Masa kecil saya penuh dengan kasih sayang mama dan papa. Saya tahu bagaimana rasa aman dan nyamannya kasih sayang mama dan papa. Itu kenapa saya iba sekali. Saya membayangkan apa yang saya rasakan dulu saat kecil, tidak Upi rasakan di masa kecilnya sekarang.

Saya berjanji pada diri saya sendiri, bahwa Upi boleh mencium tangan saya selama dia mau tidak peduli walaupun seringkali dia ingusan. Dia boleh memeluk sebelah kaki saya selama dia mau tak peduli walaupun dia basah habis berenang di laut atau bau matahari habis panas-panasan. Dan setiap dia lari berteriak dan menghampiri saya meminta kurang-kurang tambah-tambah, saya akan kasih pertanyaan-pertanyaan sebanyak dia mau.

Kasih sayang itu bisa dibuat tidak terbatas. Jadi jika saya merasa mampu mengasihi dan menyayangi, kenapa tidak saya bagi dengan Upi dan anak-anak saya yang lain yang juga membutuhkan kasih sayang itu.

“Ayo Upi belajar yang rajin! Kalau Kurdi bilang dia mau jadi Dokter, kamu juga bisa bilang mau jadi apa saja yang kamu mau di dunia ini....”

Monday, January 31, 2011

Childrens are

Di dalam kelas 5 pada pelajaran IPA. Saya sedang mengajarkan tentang gaya magnet. Hari itu pertemuan kedua untuk materi gaya magnet. Di pertemuan pertamanya, saya mengenalkan mereka sifat-sifat magnet. Lalu di pertemuan kedua ini saya ingin anak-anak membuat magnet dari sendok logam yang saya minta mereka bawa masing-masing. Sementara magnetnya saya yang sediakan. yang kurang saya prediksi adalah bahwa ternyata sendok + meja belajar adalah mainan yang sangat menarik bagi anak-anak kelas 5 ini. Begitu masuk pelajaran IPA dan saya minta mereka mengeluarkan sendok mereka masing-masing, terdengarlah riuh akibat pukulan-pukulan sendok ke meja. Coba kalian ambil sendok logam dan pukulkan yang kuat ke meja kayu, bayangkan bunyinya jika dilakukan bersama-sama oleh 24 anak.

Saya : memikirkan cara menenangkan keriuhan itu, lalu, “nih, coba ikuti ketukan bapak!” lalu mencontohkan sebuah irama ketukan.

Kelas 5 : mengikuti ketukan saya sekuat tenaga. Tapi tidak berhenti.
(Ttteeeeeeeeeeeeeeeet!! Wrong move pak guru..!!)

Saya : “ayo kita mulai membuat magnet! Siapa yang mau membuat magnet???”

Kelas 5 : tampak terlalu asik dengan sendok dan meja mereka. Terlebih lagi karena mereka adu kuat bunyi antar sesama mereka.

Saya : mulai kesal. “yang masih pukul-pukul meja, tidak dapat magnet ya...”

Kelas 5 : beberapa mulai berhenti. Beberapa masih lanjut dengan alat musik mereka.

Saya : berjalan ke belakang dan mendiamkan satu persatu sampai di meja Amalan, salah satu anak kelas 5.

Amalan : sesaat setelah saya pergi meninggalkan mejanya, “TOK TOK TOK TOKKK!!!”

Saya :berbalik badan, “Amalaan, diam sudah, kita mau membuat sendok itu menjadi magnet..”

Amalan : “saya pak guruuuu!!!” (artinya: iya pak guru!)

Saya : berbalik badan untuk kembali ke depan kelas. tiba-tiba..

Amalan : “TOK TOK TOK TOK TOK!!!!!!!”

Saya : kesal. Berbalik badan dan berencana memberikan hukuman pada Amalan dengan mengambil sendoknya dan tidak memberinya magnet. Tapi begitu melihat mukanya, instead of doing my plan, saya tertawa lemas melihat ekspresi Amalan. Ekspresi kaget dan takut karena sebenarnya dia mungkin tidak sengaja. Dia hanya begitu tertariknya dengan sendok dan meja sehingga dengan cepat melupakan bahwa saya baru saja habis memberinya teguran. Dan seolah-olah begitu saya balik akan memarahinya, dia kembali ingat bahwa saya melarangnya memukul-mukul meja dengan sendok. Something like : Uups..! i am so dead!

Akhirnya karena saya tertawa lemas melihat ekspresi Amalam, seluruh kelas ikut menertawakan Amalan (atau menertawakan saya) sambil kembali –secara otomatis- membuat riuh dengan sendok dan meja mereka masing-masing. Saya memutuskan untuk membiarkan mereka. Atau sebenarnya saya hanya terlalu lemas tertawa dengan tingkah Amalan. Lalu beberapa saat kelas riuh. Dan yang ajaib adalah tiba-tiba mereka berhenti dan bersahutan bilang, “ayo sudah pak guru, mari kitong bikin leper (sendok) ini jadi magnet. Bagaimana caranya pak guru??” and just like that, mereka akhirnya belajar membuat magnet. Hahaha, my childrens..:)


****

Di kelas 5 saya sudah membuat peraturan dengan anak-anak, “boleh bermain bola pada jam istirahat asal tidak mengantuk di jam terakhir”. Awalnya mereka pikir gampang, tapi minggu pertama cukup membuat mereka sadar bahwa jika mereka bermain bola sepanjang istirahat yang hanya 25 menit itu, pastilah mereka akan mengantuk pada jam terakhir. Dan saya selalu menagih janji mereka. Itu membuat mereka mulai mencari alternatif permainan lain. Saya selalu membawa gitar dan beberapa puzle yang saya miliki dan ternyata cukup bisa mengalihkan mereka dari bola pada jam istirahat.
Hari itu, kamis, minggu ketiga semester 2. Pagi hari di sekolah berjalan baik-baik saja. Apel pagi dengan keceriaan dan semangat anak-anak. Saya masuk kelas dengan perencanaan matang, RPP lengkap untuk pelajaran sampai jam terakhir. Matematika, Pkn, dan Bahasa Indonesia. Jam istirahat tiba. Anak-anak langsung bermain bola di lapangan sekolah. Saya tidak melarang mereka karena kami punya perjanjian soal ini. saya pikir mereka tidak akan bermain sekuat tenaga karena ingat janji mereka. Lalu saya bunyikan lonceng tanda istirahat berakhir. Saya masuk ke kelas.

Saya tunggu 10 menit, baru setengah kelas yang masuk, sisanya masih mencuci kaki di pancuran air depan sekolah. Saya biarkan. Setelah mereka masuk saya langsung memulaii pelajaran bahasa Indonesia dengan mengeluarkan semua energi saya siang itu yang harus bersaing dengan panasnya cuaca siang itu. Siang itu tentang mendengar cerita dan membaca. Saya mengajak mereka meninggalkan kursi masing-masing untuk berkumpul di depan kelas duduk di lantai membuat lingkaran. Mulai saya rasakan aura-aura mengantuk pada anak-anak. Tapi saya lanjut dengan lebih bersemangat. Saya mulai dengan membacakan dongeng. Anak kelas 5 sangat suka dongeng biasanya, tapi siang itu entah kenapa terlihat hanya sebagian anak yang antusias mendengarkan. Sisanya mulai ada yang berbaring, mengganggu temannya, dsb. Oke, saya pikir jika saya membaca dongeng dengan lebih ekspresif mereka akan tertarik. Mulailah saya mengeluarkan bunyi-buyian aneh sebagai ekspresi dari tokoh dalam dongeng. Hasilnya, tidak jauh berubah. Rencana saya siang itu adalah setelah saya membacakan satu atau dua dongeng, saya ingin mereka membaca dongeng secara bergantian. Seperti cerita saya di post sebelumnya, anak-anak Pelita cukup tertinggal dalam kemampuan baca tulis. Hanya beberapa orang di kelas 5 yang bisa membaca cepat dan lancar dengan intonasi tanda baca, sisanya biasanya tabrak lari tanda baca. Karena itu saya ingin mereka membaca dongeng ini.

Keadaan kelas makin tidak terkendali. Sebagian anak sudah pindah ke belakang kelas dan tidur. Siang itu saya memilih untuk tidak menegur mereka. Saya memilih untuk menyelesaikan satu putaran giliran membaca. Setelah semua akhirnya mendapat giliran membaca, saya merapikan barang-barang di meja saya di depan kelas. Sebelum keluar kelas saya mengingatkan mereka untuk membuat PR. “kitong pulang lagi pak?”, “bapak mau pulang, kalian bebas mau bikin apa sampai jam 12 nanti”. Siang itu masih jam 11.30 waktu saya meninggalkan kelas. Saya ingin memberikan sedikit shock therapy ke anak-anak yang ternyata cukup bekerja. Anak-anak merasakan ada yang tidak beres dan langsung saling berbisik-bisik. Begitu saya ke ruang guru untuk mengambil beberapa barang, mereka menghampiri saya. Cuma menghampiri, tidak bertanya apapun. Lalu saat saya pulang pun mereka mengikuti saya sampai rumah. Sebelum masuk rumah saya sekali lagi mengingatkan mereka makan siang di rumah dan mengerjakan PR. Saya sama sekali tidak marah, hanya ingin membuat anak-anak memikirkan kesalahan mereka.

Sekitar jam 2 siang sehabis saya makan siang, saya mengerjakan RPP sambil mendengarkan musik dari leptop di kamar. Di luar rumah saya bisa mendengar anak-anak kelas 5 berkumpul. Mereka masih membahas kejadian siang hari di sekolah. Saya bisa mendengar mereka dari dalam kamar. “ngana tuh, tidor di belakang tadi tuh”, “ih ngana tuh baribut, pahe!” mereka mulai saling menyalahkan satu sama lain mencari penyebab kejadian siang tadi. Sampai akhirnya saya tidak mendengar lagi suara mereka di luar. Tiba-tiba adik angkat saya, Eba, mengetuk pintu dan mengatakan anak-anak kelas 5 menunggu saya di depan. Saya keluar dan mereka berbaris rapi di teras. Abdurrahmanwahid, ketua kelasnya angkat bicara, “pak guru, kami mau minta maaf”. Hal yang sebenarnya tidak saya duga. Lalu saya tanya, “minta maaf kenapa?”, “kami sudah bikin pa guru marah..” Abdurrahman menjelaskan. Lalu saya tanya lagi dengan sekuat tenaga menahan sumringah karena sebenarnya saya bangga sekali pada mereka, “memang kalian bikin apa tadi?”. mereka memberikan jawaban yang sepertinya sudah mereka musyawarahkan. Mereka tahu kalau saya tidak suka saat mereka sudah mulai saling menyalahkan satu sama lain. “kami semua melanggar peraturan pak guru, semua peraturan kelas 5 yang kami buat sendiri”. Dan saya tidak tahan lagi menahan senyum, akhirnya saya bilang “iya sudah bapak tara marah.. bapak maafkan..”. Mereka juga bilang tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Saya sebenarnya bahkan tidak marah sedikitpun. Yang saya harapkan sebenarnya hanya mereka hadir esok harinya dan merasa harus bersikap lebih baik. But i got more. Siang itu saya senang sekali menemukan kalau anak-anak saya ternyata berani datang dan meminta maaf. I’m very proud of them..

Lalu setelah itu saya suruh mereka mengerjakan PR. Mereka bolehmengerjakan di rumah saya jika mereka mau. Lalu seperti biasa, sore itu rumah saya ramai dengan anak-anak yang mengerjakan PR dan bermain gitar, membaca buku-buku saya atau sekedar memperhatikan teman-temannya. Tiba-tiba salah seorang bertanya,“pak guru berarti tara jadi pulang ke Jakarta toh?” tanya Naim yang sepertinya termakan omongan teman-temannya..hahaha..

Saya pikir-pikir, sebenarnya dari kecil kita polos. Merasa salah, ya minta maaf. Jadi kalau sekarang ada diantara kita yang masih takut meminta maaf atas kesalahannya, jangan sebut dia kekanak-kanakan. Karena anak-anak ternyata tidak seperti itu. Itu tadi contohnya, anak-anak saya.

****

Di akhir minggu ketiga, saya menjanjikan kepada anak-anak mengajak mereka piknik ke Pulau Ambatu di seberang desa Pelita. Tentang pulau Ambatu juga pernah saya ceritakan di postingan sebelum ini di blog saya. Saya menjanjikan piknik itu dengan syarat anak-anak harus berlaku baik dan mengerjakan PR mereka. Dan karena 3 minggu berjalan cukup baik, saya memenuhi janji saya. Kami piknik ke Ambatu. Saya meminjam ketinting berbadan agak besar yang bisa membawa 24 anak-anak kelas 5.

Waktu berangkat, mesin ketinting kami bermasalah. Ternyata tanki bensin kemasukan air dan harus dikuras menggunakan selang kecil. Masalahnya, kami sudah terlanjur berada sekitar 200 m dari depan dermaga Pelita dan di ketinting tidak ada selang. Tiba-tiba Man, salah seorang anak yang sejak berangkat mengenakan life vest yang saya bawakan, menyeburkan diri dan berenang ke arah darat. Saya kaget dan menyuruhnya kembali. Dia hanya berteriak pada saya bahwa dia akan pulang mengambil selang. Not cool man!, mereka ini di bawah tanggungjawab saya. Bagaimana kalau Man tenggelam? Saya terus menyuruh Man kembali tapi dia tetap berenang. Anak-anak yang lain meyakinkan saya dengan mengatakan, “tenang pak guru, Man itu rajanya air masing”. Memang saya tahu Man ini sangat lincah di air. But still, 200 meter dari darat!

Saya tidak melepaskan pandangan dari Man. Jika terjadi sesuatu, saya tahu saya harus menyelamatkan Man. Saya bisa berenang, tapi berenang 200 meter di laut tanpa lifevest, nah ini saya belum pernah coba. Apalagi dalam keadaan panik. Tapi melihat Man mengenakan lifevest membuat saya sedikit tenang karena paling tidak dia akan tetap mengambang di permukaan. Singkat cerita, Man kembali membawa selang dan ketinting kami berhasil saya perbaiki. Man, “si raja air masin”.

Piknik selesai, anak-anak senang, kami bersiap untuk pulang. Saya mengingatkan anak-anak untuk memastikan barang-barangnya tidak tertinggal. Sebelum naik ke ketinting saya menghiting jumlah dan masih pas. setelah berjalan beberapa menit, Man tiba-tiba berdiri dan berteriak menunjuk ke arah Pulau Ambatu yang baru kami tinggalkan, “pak guru, ada orang tertinggal satu itu..!!!” saya kaget, membalik badan dan mencari orang yang Man maksud. Saya tidak melihat siapa-siapa. Tapi Man masih menunjuk-nunjuk, “itu pak guru..itu..!!”. lalu saya tanya, “siapa??”. Tiba-tiba Man tertawa diikuti anak-anak yang lain. Saya dikerjai! They really got me!
Saya sadar, Man mengerjai saya sepertinya dalam rangka mebalas. Memang beberapa kali saya senang mengerjai anak-anak dalam candaan-candaan seperti yang sering saya lakukan pada teman-teman saya. Dan siang itu saya melihat muka Man saat berhasil mengerjai saya, puas sekali, muka kemenangan, seperti muka saya saat berhasil mengerjai teman-teman saya dulu. Ngeselin parah! Hahahaha..they are adorable..

Saturday, January 1, 2011

Let's Live With No Regret Guys..! Selamat Tahun Baru Semuanya..

Sebenernya niat bikin tulisan ini bukan karena penghujung tahun, tap momen akhir taun 2010 bikin gw inget lagi dulu pernah niat bikin tulisan ini. karena momen awal tahun gw sepertinya adalah pas 10 November 2010 kemaren waktu kami –Pengajar Muda yayasan Indonesia Mengajar- dilepas di Bandara Soekarno-Hatta untuk berangkat ke daerah penempatan masing-masing. Somehow, momen itu seperti lembar baru fase kehidupan gw. Setahun gw bakal meninggalkan kehidupan kota dan hidup sebagai orang Desa, mengajar di SD, belajar tentang ke-Indonesia-an dari kehidupan di Desa. Ini adalah suatu anugerah besar yang Tuhan kasih ke gw, menurut gw. Kadang gw mengingat-ingat apa-apa aja yang pernah gw lewatin sampe gw ada di titik kehidupan gw sekarang. Everythings happened for a reason. Menurut gw menarik mengait-ngaitkan apa yang kita jalanin sekarang dengan apa yang pernah kita lalui sebelumnya. So here i am trying to remember what i’ve been through until now.

Gw pengen mulai dari momen kepindahan gw dari Bandung ke Pekanbaru sekitar tahun 2000 yang lalu. Sebelum pidah. gw sekolah di SLTPN 9 Bandung. Bukan sekolah unggulan, tapi cukup bagus pada masa itu. Bagi anak kelas 2 SMP berumur 13 tahun, yang baru kenal masa2 “bandel”, kenal-kelanan sama cewek, punya temen main yang aktivitasnya beda sama anak2 SD, pindah tempat tinggal itu bukan perkara yang ringan. Apalagi pindah ke kota yang jauh dari Bandung, beda pulau, dan bikin gw gabisa sering2 ke bandung buat ketemu temen2 gw lagi. Sebelum pindah gw sempet uring-uringan bikin nota protes uspaya ga jadi pindah. Tapi yah, kalian pasti tau aksi gw itu cuma akan sia2. Pindahlah gw sekeluarga ke Pekanbaru, Riau. Dari kepindahan itu, sekarang gw sadar kalo gw belajar sesuatu tentang adaptasi. Karakter orang-orang sumatra jelas beda dengan orang2 di jawa. Walaupun gw asli orang Minang, tapi dari lahir gw selalu tinggal di Bandung. Jadi masa awal-awal pindah emang cukup berat buat gw. Sebulan pertama gw sekolah di sekolah baru, SMP Cendana Rumbai, seinget gw udah 3 kali berantem sama anak yang akhirnya jadi temen-deket gw di sekolah baru itu. Masalahnya sepele : perbedaan kebiasaan-kebiasaan dan (mungkin) ketengilan gw karena (merasa) populer sebagai anak pindahan dari Bandung. Haha, kids..

Abis masa SMP, gw masuk ke SMA Negeri paling oke di Pekanbaru, SMUN 1 Pekanbaru. Yah, atleast itu yang diyakini anak2 SMUNSA, kami lebih baik dari SMUN 8 Pekanbaru, begitu juga sebaliknya. Sama lah dengan SMA 3 dan SMA 5 Bandung kasusnya. Masa SMA gw juga banyak dihabiskan dengan organisasi dan bolos. Selain belajar yang rajin tentunya hahaha.. gw inget pernah jadi ketua Majelis Persmusyawaratan Sekolah dan sering banget bolos pas kelas 3 (kalo mama baca pasti mama bersyukur karena kalo pas SMA gw kerajinan dan ga sering bolos pasti ntar kuliahnya malah di MIT dan jauh banget dari mama, hehe :D). Oh, dan gw juga inget pernah punya band sama anak2 di SMA yang pada masanya pernah cukup terkenal di Pekanbaru, atleast menurut gw dan temen2 se-Band, hehe. Yah over all masa2 SMA gw rasanya lengkap, and i am greatfull for that.

Kuliah di ITB. Fase ini menurut gw fase yang banyak banget mempengaruhi dan ngebentuk pola pikir gw sekarang. Dari banyak kegiatan yg pernah gw jalanin di kampus, momen kekalahan di pemilihan ketua himpunan HMTL jadi salah satu yang paling penting. Momen itu ngajarin gw soal mengevaluasi diri dan kebesaran hati. Momen berharga banget. Lalu dinamika2 lain seperti jadi Danlap di acara level kampus yang di-Ilegalkan oleh rektor, jadi Menteri PSDM kabinetnya Ijul, sampe akhirnya jadi Koordinator Kongres KM ITB banyak banget memberikan pengaruh terhadap perkembangan pola pikir gw. Kehidupan sosial gw di kampus juga seru. Keluarga gw di kampus adalah HMTL. Banyak banget lah yang gw pelajarin dari Himpunan itu. Terus sahabat2 deket seangkatan yang luar biasa, kelakuannya aneh2, tapi menyenangkan. Dari mereka, gw juga belajar banyak hal. Terus kehidupan percintaan, haha aduh yang ini juga seru. Semua itu berjalan dalam keseluruhan kehidupan kampus banyak ngasi gw sudut pandang baru dan pola pikir yang berkembang. 5,5 tahun gw di kampus rasanya puas. Ngerasa udah mengoptimalkan apa yang kampus punya untuk dipelajari.

Fase berikutnya adalah kerja. Kerja pertama gw sejak lulus, -well, lebih tepatnya sebelum lulus sih- adalah manjadi seorang Junior Enviro Supervisor di Sebuah perusahaan Petambangan Batubara yang punya site di Kalimantan Timur. Sebelum akhirnya gw ditempatin di site, gw sempet sekitar 3 bulan ditempatin di office di Balikpapan. Sekali2 ke site buat survey tapi lebih banyak menetap di balikpapan. Gw nge-kos, tiap hari bolak balik kantor, ngegambar, bikin report, dan pekerjaan2 kantoran lainnya. Niat gw kerja disini emang cuma pengen ngerasain pengalaman kerja profesional. Suasana kerja dan rekan2 kerjanya menyenangkan, but i have to admit that i was bored. Dari kebosanan itu juga akhirnya gw nemu tempat main yang menyenangkan tiap malem, yang juga punya peran penting buat gw dalam memantapkan apa yang pengen gw lakukan sebenernya. Panti asuhan Al-Furqan, panti dengan 25 anak asuh yang 9 diantaranya anak SMP dan SMK bikin gw makin gelisah sebenernya dengan kerjaan gw yang lama. Anak2 ini yang ngajarin gw ke-Indonesia-an yang nyata. Setiap malam, pulang kantor, gw main ke panti untuk nemenin mereka belajar pelajaran sekolahnya. Sesuatu yang menarik gw rasain dari mengajar anak2 itu, sesuatu yang bikin gw merasa lebih hidup. Sejak saat itu gw makin mempelajari lagi masalah2 pendidikan Indonesia. Waktu akhirnya gw dipindah ke site, sebenernya gw makin gelisah karna ga bisa lagi ke Panti untuk nemenin anak2. Semua rutinitas gw lakuin karna profesionalitas aja. Sampe akhirnya gw baca email rekrutment Indonesia Mengajar. Gapake pikir panjang, somehow gw ngerasa ditunjukin jalan, gw langsung apply online dan menunggu hasil. Di kerjaan gw yang lama itu, jadwal kerjanya adalah 6 minggu di site dan 2 minggu cuti. Selama 6 minggu itu gw akan selalu ada di site yang lokasinya somewhere di tengah hutan Kutai Barat, Kaltim. Begitu dapet cuti selama dua minggu gw boleh terbang kemanapun tujuannya dan berlibur. Seperti memang udah jalannya, gw lolos seleksi pertama Indonesia Mengajar dan diharuskan dateng ke Jakarta untuk tahap selanjutnya, Direct Assessment, yang jadwalnya ada di dalem jatah cuti 2 minggu gw. Akhirnya, sebelum seleksi tahap 3, Medical Check up, gw udah memutuskan buat resign dari kerjaan gw yang lama. Agak nekat sih, but that was feels right. Dan gw memilih untuk meyakinkan diri kalo gw akan keterima di IM.
Alhamdulillah, gw keterima dan ada di Desa Pelita sekarang.

Masa2 training Pengajar Muda pra deployment juga menarik. Gw dikumpulkan satu atap selama 7 minggu dengan orang2 yang punya passion sama. Waktu awal gw apply IM, sempet mikir “ada ga ya yang mau daftar juga?”, dan itu terjawab pas akhir2 sebelum dirrect assessment gw tau kalo yang daftar sampe 1300an orang. Man! Rasanya lega, tau kalo banyak banget anak2 muda yang semangat banget buat jalan2. Loh?haha. Banyak proses yang terjadi di trainingcamp Pengajar Muda. Pembenturan2 pemahaman, belajar bareng soal keguruan, saling mentransfer semangat dan energi, bertukar ilmu dan pengalaman, membangun cita2, dan ga ketinggalan, jatuh cinta. Hehe. 7 minggu itu udah ngasih keluarga baru dan tentunya jaringan baru buat gw. Sahabat2 baru gw yang luar biasa itu mengajarkan gw banyak hal. Dan mereka sedang berjuang masing2 sekarang di rumah baru mereka.

Gw pengen berterimakasih buat Mama dan Papa. Semua perjalanan gw bisa seperti itu gw yakin karena apa yang Mama dan Papa ajarin sejak gw lahir. Dua orang luar biasa yang masing2 punya peran besar banget dalam ngebentuk gw. Terimakasih buat semua kata yang keluar dari hati melalui mulut mereka dalam mendidika gw, buat tembok rumah yang mereka izinkan untuk gw dan abang jadiin kanvas lukis, buat semua tretment mereka. Ga akan abis kalo gw ceritain disini tentang Mama dan Papa. Terlalu banyak detail menarik dari mereka. Yang jelas, mereka juaranya lah. Terus juga buat abang Reza dan Uwi, dua sodara laki2 gw, temen berantem waktu kecil, temen ngakalin peraturan mama, dikurung bareng di kamar mandi, terimakasih udah ngasih kesempatan gw belajar jadi adik yang baik (setuju aja lah bang), dan abang yang baik buat (kamu harus setuju wi!:p). Makasi buat semua yang terlibat dalam penciptaan lingkungan masa kecil gw, karna itu yang menanamkan banyak waktu kecil.

Makasih juga buat semua temen2 SD, SMP dan SMA. TL 2004 juga punya peran penting ngajarin gw banyak hal, banyak sekali. Temen2 yang ngerti gw, dan sangat menyenangkan. HMTL, Kampus, rumah kedua gw selama kuliah, semua kegiatan di dalamnya dan orang2nya luar biasa. Gw juga sangat berterimakasih atas 7 bulan gw kerja di Kaltim, 7 bulan yang panting sekali.

Oke cukup, gw semakin merasa ujung2 tulisan ini mirip kata pengantar di Tugas Akhir. Intinya gw Cuma pengen bilang makasi buat semua orang dalam hidup gw. Ga peduli orang itu kenal sama gw dalam kesan menyenangkan atau ngga, gw berterimakasih. Gw ga nyimpen rasa benci sedikitpun kepada siapapun sekarang. Karna apapun kesannya, semuanya adalah bagian dari perjalanan ini. jadi sekali lagi, terimakasih. Semoga Tuhan membalas semua amal baik kalian guys.

Gw selalu yakin, takdir hanyalah sesuatu yang sudah terjadi, dan apa yang belum terjadi adalah yang harus kita usahakan sekuat tenaga. So we can live with no regret, at all.

Terimakasih Tuhan atas semua yang Engkau berikan. Jagalah kami semua dengan kekuatan supaya bisa mengusahakan yang terbaik, dan dengan keikhlasan supaya kami tidak menghabiskan waktu kami dengan mancaci masa lalu. Amin.

Pelita, 31 Desember 2010
(Hujan seharian ini bikin udaranya adem kaya di bandung)

Semester 2, Here I Come..!

Here i am writing something again.

Sudah hampir masuk bulan ketiga saya di Desa Pelita. Waktu cepat sekali rasanya disini. Sejak 12 November lalu PM Halsel sudah sampai di Desanya masing-masing. Dan sampai saya membuat tulisan ini, sudah 1 bulan 18 hari tepatnya kami hidup bersama orang-orang di desa masing-masing. Life’s going great here in Pelita. Saya makin mencintai semua detail desa ini. orang-orangnya, anak-anak, sekolah, rumah, bahkan kasur dan bantal tidur saya. Oh, tidak untuk melupakan nyamuk-nyamuknya yang ganas-ganas-ngegemesin-minta dihajar yang sukanya main keroyokan. Hehe.

Saya ingin cerita tentang rencana umum yang sudah saya susun untuk menghabiskan sisa waktu yang menurut saya tidak lama lagi di Pelita ini, 10 bulan tersisa. Dari 4 arahan besar PM yang kami terima, setelah observasi 2 bulan ini saya sekarang sudah mendapat gambaran tentang apa yang akan saya lakukan untuk keempat arahan itu. Yang kesemuanya harus dan akan saya selesaikan sebelum oktober 2011, sebulan sebelum undeployment PM karena saya harus mentransfer apa yang saya sudah lakukan pada PM yang akan menggantikan saya di Pelita. Rencana ini sangat mungkin ter/di improvisasi dalam perjalanannya. Oh saya suka sekali kerjaan seperti ini, saya hanya diberikan arahan besar lalu saya bebas menentukan apa yang saya lakukan selama setahun ini. Buat saya ini bukan seperti kerjaan jadinya, tapi bersenang-senang menjalani hidup.

Kegiatan Kurikuler

Sejak saya mulai mengajar november lalu sampai habis semester I 2010-2011, saya sudah pernah mengajar di semua kelas. Sifatnya insidental. Beberapa kali saya harus mengajar dadakan menggantikan guru yang tiba-tiba harus ke Labuha mengurus pendaftaran CPNS atau hal lain. Dalam proses mengajar saya itu saya mulai menerapkan apa yang pernah saya pelajari selama training mulai dari pengkondisian kelas sampai perancangan RPP yang kreatif. Beberapa kali anak kelas 6 dan kelas 5 saya ajak belajar IPA di dermaga desa atau sekedar berjalan-jalan melihat hutan. Dari sana saya mengobservasi sebanyak mungkin kondisi anak-anak dan cara belajar mereka.

Di semester 2 yang akan dimulai sebentar lagi, saya bersama kepala sekolah dan guru lain sudah memutuskan bahwa saya akan menjadi guru kelas 5. Ada sedikit perubahan dari rencana awal. Tadinya saya akan menjadi guru mata pelajaran Matematika, IPA dan Bahasa Inggris untuk kelas 4,5 dan 6, tapi ternyata ada satu guru yang semester 2 ini akan pindah sehingga SDN Pelita akan kekurangan guru kelas. Ditambah saya, sekarang guru Pelita pas berjumlah 6 orang, cukup untuk memegang masing-masing kelas. Oke, ini menarik. Kebetulan saya lebih mengenal anak-anak kelas 5 karena sepanjang ujian semester kemarin saya bersama kelas 5 menggantikan guru kelasnya yang sedang tes CPNS ke Labuha. Selain menjadi guru kelas, saya juga ditunjuk untuk menjadi guru pada jam pelajaran tambahan untuk kelas 6 dalam rangka persiapan menghadapi UN Mei 2011 yang akan datang.

Dalam hal persiapan, saya dan guru-guru lain sepakat untuk mambuat rencana ajar untuk semester 2 ini bersama-sama. selama ini menurut kepala sekolah belum pernah ada rencana ajar yang berkesinambungan dan efektif. Itu karena guru-guru jarang mendapatkan training dan pengawasan. Soal ini sudah saya ceritakan di post sebelum ini. semester 2 ini saya akan coba membuat suatu turunan KTSP yang simple. Saya memilih tidak menggunakan istilah-istilah seperti RPP dan sejenisnya untuk menghindari kesan rumit. Tiap guru di semester 2 ini akan memiliki sebuah kertas besar yang akan ditempel di belakang meja masing-masing. Kertas itu akan berisi kejaran-kejaran mingguan setiap guru yang akan rutin dievaluasi bersama tiap akhir minggu. Jadi kami bisa bersama-sama saling mengevaluasi dan memberikan masukan untuk minggu berikutnya. Saya tahu, saya harus membuatnya terlihat sesimpel mungkin supaya rencana ini bisa berjalan konsisten sampai akhir semester dan akhirnya bisa diteruskan di tahun-tahun berikutnya karna sudah menjadi kebiasaan baru.

Di awal semester, saya akan mengambil 2 minggu pertama untuk mengkondisikan kelas dengan rules yang akan dirancang bersama oleh anak-anak. Anak-anak akan saya kasih 3 lembar kalender bekas untuk menyampul buku tulis dari tiga mata pelajaran yang saya ajar. Ini saya lakukan untuk membiasakan anak-anak merawat bukunya. Buku tulis mereka tidak terawat selama ini. Saya juga akan memulai pengkondisian kelas untuk menciptakan suasana kelas sebagai suasana kelompok belajar, sebuah tim yang sedang belajar bersama, hal yang saya pelajari dari buku learning to teach 1.

Beberapa kali saya mengingat-ingat dengan keras bagaimana keseharian saya waktu SD dulu. Apa metode-metode yang diterapkan di kelas oleh guru saya. Bagaimana cara mereka memberi hukuman, cara mengajar, cara mengapresiasi. Sedikit banyak itu membantu saya dalam menyusun rencana ajar semester 2 ini.

Pembelajaran Masyarakat

Bagian ini saya ceritakan lebih dulu sebelum bagian kegiatan ekstrakurikuler karena memang berkaitan dan akan saya bagian ini lah yang akan saya insisiasi lebih awal. Ada dua bidang yang saya rencanakan, pertama adalah yang masih berkaitan dengan pendidikan formal sekolah dan yang kedua adalah yang sifatnya pemberdayaan masyarakat desa.

Anak SMA di Pelita berjumlah hanya sekitar 35 orang. Saya berencana untuk mengaktifkan kegiatan untuk mereka di luar sekolah. Seminggu 3 kali, malam hari, mereka akan saya ajak kumpul di sekolah mereka yang kebetulan terletak di depan rumah saya, untuk belajar hal-hal apa pun yang bisa saya share dengan mereka. Bisa belajar dasar-dasar komputer, bahasa Inggris pemula, public speaking, pidato, atau bahkan sekedar nonton film bersama dari laptop saya sambil bakar jagung. Apapun yang positif. Yang saya ingin bentuk adalah komunitas kegiatan untuk anak-anak SMA supaya kegiatan mereka bisa berkembang ke arah positif dan bermanfaat bagi mereka kelak. Setalah komunitas itu berjalan, komunitas memang saya rancang untuk bisa juga membantu saya melakukan tugas saya di bidang lain. Untuk ekstrakurikuler misalnya, saya mengharapkan dan akan menginisiasikan supaya anak-anak SMA bisa menjadi pelatih dan pembina Pramuka untuk adik-adik mereka di SD. Lalu untuk bidang pemberdayaan masyarakat, anak-anak SMA akan saya arahkan untuk menjadi motor penggerak program Desa Percontohan Pengelolaan Persampahan Terpadu Daerah Kepulauan yang akan saya rancang.

Bagian pemberdayaan masyarakat yang saya rencanankan adalah program Desa Percontohan Pengelolaan Persampahan Terpadu Daerah Kepulauan. Kenapa persampahan? Karena sejalan dengan background Teknik Lingkungan saya dan juga masalah ini lah yang saya lihat di desa-desa kepulauan seperti Pelita ini. Secara umum saya gambarkan, desa kepulauan punya masalah dengan tempat pembuangan atau pemrosesan akhir. Paradigma persampahannya adalah : buang ke laut sore ini, besok pagi sampah sudah hilang ditelan laut. Saya sedang memikirkan apa jenis pengolahan yang tepat untuk desa seperti ini. sejauh ini saya memikirkan kompresi dan penyimpanan sementara dan secara berkala dikirim ke Labuha untuk diantar sampai TPA yang baru akan selesai dibangun sekitar 8 bulan lagi berdasarkan informasi dari BPLHK (Badan Pengelola Lingkungan Hidup dan Kebersihan) Kabupaten Halmahera Selatan yang saya satroni minggu lalu. Kepala bagian Kebersihan BPLHK yang saya temui sangat antusias dengan rencana saya menjadikan Pelita sebagai Desa percontohan. Mudah-mudahan setahun ini saya bisa merampungkan sebuah modul sederhana terkait program ini supaya bisa diterapkan di Desa-desa lain di Kepulauan Halmahera Selatan ini.

Masyarakat Pelita juga antusias begitu saya bilang ingin menjadikan Pelita menjadi desa percontohan. Step yang saya mulai adalah pembiasaan pengumpulan sampah. Di desa ini tidak ada tempat sampah. Karena memang sampah tidak pernah terlalu lama disimpan sebelum dibuang ke laut. Di sekolah, saya sudah membuat tempat sampah dari drum bekas dan akan menginisiasi “polisi kebersihan” dari anak-anak SD. Lalu pelan-pelan akan dimulai juga kegiatan pengomposan sederhana skala rumah. Orang peilta sebagian besar juga berkebun. Jadi ,mereka tidak akan bingung memakai hasil komposnya. Dan seperti yang sudah saya ceritakan tadi, ini semua akan jadi program yang dijalankan oleh komunitas anak-anak SMA yang akan saya inisiasi.

Sangat sayang jika laut kepulauan Halmahera ini tidak dijaga. 10 tahun lagi mungkin belum terasa dampaknya karena daya dukung lingkungannya masih sangat tinggi dan perkembangan teknologi sulit masik kesini. Tapi itu bukan alasan untuk tidak perlu berperilaku baik terhadap lingkungan.

Kegiatan Ekstrakurikuler

Yang formal yang akan saya inisiasi adalah Pramuka. Tapi belakangan saya mulai berpikir untuk menginisiasi PMR. Since there’s no nurse here in Pelita, dan anak-anaknya punya resiko kecelakaan yang tinggi akibat kebiasaan-kebiasaan mereka, saya pikir pengetahuan dasar pertolongan pertama bagus untuk anak-anak. Dua rencana inisisasi ekskul itu belum akan saya lakukan di awal semester. kegiatan ini juga bagian dari pemberdayaan anak-anak SMA yang saya rencanakan. Jika nantinya ada ekstrakurikuler di SDN Ambatu, maka pelatih-pelatihnya adalah kakak-kakak mereka sendiri.

Advokasi Pendidikan

Untuk bagian ini, mungkin yang lebih terprogram adalah kegiatan level Kabupaten bersama teman-teman PM Halsel. Kami merencanakan dua kegiatan level Kabupaten yaitu peringatan hari anak dan hari pendidikan nasional. Dua acara itu sudah dalam tahap pendetailan dan akan di eksekusi bulan Mei dan Juli 2011. Kegiatan itu juga melibatkan Dinas Pendidikan Halmahera Selatan dan stakeholder lain. Saya berencana untuk melibatkan anak-anak SMA di Pelita untuk membantu pelaksanaan kegiatan ini.

Advokasi pendidikan yang secara individu saya lakukan mungkin sifatnya insidental karena saya pikir pasti akan sejalan dengan semua kegiatan lain yang saya lakukan. Misalnya, awal semester nanti saya akan memberikan pelatihan dasar komputer kepada guru-guru SDN Pelita supaya mereka bisa memanfaatkan teknologi dalam proses mengajar, dokumentasi dan keperluan-keperluan lain. Ada juga rencana kunjungan orang tua siswa di sepanjang semester 2 untuk melakukan pendekatan-pendekatan informal dengan tujuan mendukung proses belajar anak-anak Pelita.

***

Itu adalah semua rencana saya yang sejauh ini sudah saya susun mengenai aktivitas 10 bulan kedepan. Itu rencana ideal. Saya tahu dan sangat yakin bahwa pasti banyak hal yang akan memaksa saya improvisasi. Seperti misalnya jumlah guru yang pas-pasan, bukan tidak mungkin selama sebulan hanya akan ada 3-4 guru di Pelita dan itu mau tidak mau menuntut penyesuaian di sana-sini jika saya tetap ingin menjadi guru mata pelajaran tapi juga bisa membantu mem-backup kelas-kelas yang tidak ada guru. Hal itu juga akan mempengaruhi konsistensi guru-guru dalam membuat rencana dan evaluasi mingguan. Belum lagi masalah anak-anak SMA yang mungkin saja tiba-tiba menghilang sebulan atau dua bulan karena bekerja di Ternate atau pulau Obi mencari tambahan uang. Atau bisa juga masalah ketertinggalan anak-anak SDN Pelita yang banyak disebabkan jarangnya mereka menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan juga jarang membaca buku sehingga daya serap terhadap apa yang mereka baca sangatlah rendah. Pasti hambatan-hambatan seperti itu akan selalu ada di depan saya nanti.

Saya tahu satu hal, bahwa kemungkinan saya gagal menjalankan semua rencana saya pasti ada. tapi hal lain yang saya tahu adalah saya akan melakukan yang terbaik yang saya bisa. Bismillah, semoga saya selalu diberi kesehatan supaya tidak ada absen berkegiatan seharipun di Pelita.
Banyak orang mungkin tidak tahu dimana itu Pelita. Bahkan di Peta saja tidak ada.
Tapi saya yakin Tuhan tahu bahwa ada karya-karya luar biasaNya di sini, di Pelita.
Semoga Tuhan bersama anak-anak Pelita.

“anak-anak, ngoni mau belajar apa hari ini..?”
“rahasia tentang apa yang ngoni mau tau hari ini..?”
“mari, Pak Guru kase ngoni tau Pak Guru pe rahasia!”