Tuesday, December 25, 2012

Belajar Indonesia dari Pelita

Tulisan ini saya buat dalam rangka lomba menulis "Tulis Nusantara 2012" kategori non-fiksi. Tapi karena tidak menang, saya akan post supaya tidak mubadzir. 

***

“Indonesia itu negerikaya”. Dulu saya pikir saya sudah paham maksud premis itu dari hanya mengagumi jepretan kamera fotografer, cerita orang tua, dongeng-dongeng, cerita rakyat, dan buku PPKN Sekolah Dasar. Tapi ternyata, mengalamisatu tahun tinggal dan hidup di Desa Pelita, di pulau kecil di salah satu titik nusantarayang belum dialiri listrik dan terjangkau sinyal ponsel berhasil membuat saya terpukau akankayanya negeri ini, memberikan perspektif lain arti kekayaannya. Ini adalah kisah saya, seorang anak kota yang mendapat kesempatan mengenal Indonesia lebih dekat, mengenal bagian lain di dalam tapal batas republik ini, menikmati dan memaknai Indonesia.

Kabupaten 400 Pulau

Dari riuhnya Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, saya terbang selama kurang lebih 3 jam untuk transit di Manado lalu menyambung perjalanan udara lain selama 45 menit.  Di siang yang terik itu, tibalah saya di Ternate, sebuah kota pusat perekonomian di Provinsi Maluku Utara. Kota yangdalam perjalanan sejarahnya pernah jadi pusat pertahanan dan pemerintahan bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda ini memiliki daya tarik dari berbagai hal mulai dari objek wisata sejarah, makanan khas, pantai, danau dan bahkan kesultanannya. Kali pertama saya menginjakkan kaki di bagian timur Indonesia itu, saya makan siang di tepi salah satu dermaga yang menghadap ke Pulau Maitara dan Tidore. Sambil makan siang, saya bisa menikmati pemandangan yang persis sama dengan yang ada di salah satu sisi uang kertas seribu rupiah. Hanya saja tanpa sampan kecil dan bapak tua yang mendayungnya.

Beranjak malam, sebuah kapal penumpang besar bermuatan 800 orang mengantarkan saya mengarungi Laut Maluku ke arah Selatan menuju Pulau Bacan, tempat terletaknya ibukota Kabupaten Halmahera Selatan, Labuha. Perjalanan satu malam itu belum-belum sudah memberikan kesan khas Maluku Utara. Dimulai dari terkaget-kagetnya saya di Pelabuhan Bastiong Ternate saat akan berangkat olehkerasnya suara dan cara berinteraksi orang Maluku Utara yang lantang, sampai hamparan langit malam yang terasa sangat terang malam itu diatas Laut Maluku yang berombak kecil dan angin laut yang terasa asin. Di atas kapal menuju Pulau Bacan malam itu, saya tahu, satu tahun yang akan saya jalani di Desa Pelita akan penuh kejutan.

Keesokan paginya saat matahari belum terbit, lantangnya suara kuli-kuli angkut barang membangunkan saya setangah kaget. “Ngana pe barang ada? Mari kita angkat!”, teriak salah seorang kuli angkut barang yang menawarkan jasanya mengagetkan saya. Saya menggeleng sambil masih setengah sadar. Mungkin karena terbiasa di laut, orang Maluku Utara memang senang berbicara dengan lantang sehingga jelas terdengar diantara deru mesin kapal atau deburan ombak. Selesai mengumpulkan nyawa, saya bangkit dan melongok ke anjungan kapal. Ternyata kapal sudah merapat di Pelabuhan Babang. Saya tiba di Pulau Bacan.

Pulau Bacan ini kecil. Satu jam menaiki angkutan umum ternyata sudah membawa saya ke Labuha di tepi pulau sisi yang berlawanan dengan sisi Pelabuhan Babang. Labuha yang merupakan ibukota Kabupaten Halmahera Selatan ini mungkin mirip dengan kota-kota kecil di Jawa Tengah atau Jawa Timur yang hanya punya beberapa jalan utama yang hanya butuh waktu yang relatif singkat untuk bisa mengelilingi kotanya. Di salah satu sudut kota kecil ini, ada Pasar Ikan yang selalu ramai. Nelayan yang berkapal besar menjual ikan-ikan tangkapannya di pasar ini, tapi ada juga Nelayan Hobi –begitu istilah saya untuk orang yang memancing hanya untuk penghasilan tambahan dan kesenangan- yang menenteng beberapa ekor ikan hasil tangkapannya di seutas kenur dan mencari pembeli di perjalanan pulangnya. Suatu kali ada bapak paruh baya yang meneteng seekor ikan Bubara yang panjangnya sekitar 40 cm, seekor Kepiting laut cukup besar, dan seekor Udang seukuran dua kepalan tangan orang dewasa. Saya menyapa, “itu ikan ngoni jual, Bapak?”, lalu dia menghampiri ramah dan menjawab, “iyo, ambe sudah limabelas ribu samua!”. Saya tercengang dengan harga yang disebutkan bapak itu. “Bagaimana bisa bahan makanan sebanyak itu dijualnya hanya 15.000 rupiah?” tanya saya dalam hati.

Halmahera Selatan punya potensi perikanan yang sangat tinggi. Namun sayang potensi itu belum digunakan dengan maksimal. Di sana ada pepatah: “Ikan tak perlu kau pancing pun, akan lompat ke demaga”. Masih sedikit sekali orang yang melakukan budidaya ikan. Ikan Kerapu besar sepanjang 40 cm bisa dijual hanya 10.000 rupiah per ekornya. Bagi orang yang gemar memancing, lautan di kepulauan Halmahera Selatan adalah surga memancing. Mulai dari ikan Cakalang kecil atau besar, sampai ikan Bubara atau Awakang yang ukurannya mencapai sebesar tubuh anak usia 10 tahun bisa dipancing. Mau memancing dari dermaga atau menggunakan ketinting bisa dilakukan. Mencari ikan dengan kail pancing biasa, sampai menggunakan tombak dan lampu semprong di malam hari juga bisa. Hampir semua cara menangkap ikan yang ada di sana sudah pernah saya coba, walaupun kita semua mungkin bisa menebak sebanyak apa ikan yang bisa ditangkap oleh seorang amatiran seperti saya.

Dari sebuah pelabuhan kecil di Labuha, berbaris belasan perahu motor kecil berkapasitas 20-30 orang yang merupakan transportasi umum ke pulau-pulau dan desa-desa di Kabupaten Halmahera Selatan. Kabupaten ini memiliki 400 pulau dan 78% wilayahnya adalah laut. Saya menaiki salah satu perahu motor yang akan berangkat menuju sebuah desa bernama Pelita. Dari Labuha, hanya ada 3 kali dalam seminggu perahu motor yang berangkat ke Desa Pelita. Perlu waktu 2,5 jam mengarungi lautan dan ongkos sebesar 20.000 Rupiah untuk sampai di pulau tempat Desa Pelita berada. Terkadang jika beruntung, di perjalanan-perjalanan berikutnya saat saya berkunjung ke Labuha, gerombolan Lumba-lumba akan mengikuti perahu motor yang saya tumpangi. Berputar-putar mengelilingi perahu sambil sesekali melompat memamerkan kelincahan mereka.

Desa Pelita

Desa kecil yang berpenduduk hanya sekitar 600 jiwa. Saat pertama kali perahu motor yang mengangkut saya merapat di Desa Pelita, saya ingat bagaimana anak-anak kecil bertelanjang bulat yang sedang berenang di pantai naik ke dermaga mengamati dengan serius seorang laki-laki dengan tas besar yang baru tiba di desa mereka. “Mas! Ada bajual apa?” (mas, jualan apa?) tanya seorang bocah keriting yang menghampiri saya. Saya bingung sesaat, lalu menjelaskan bahwa saya akan menjadi guru bantu di Pelita. Belakangan saya tahu bahwa yang biasanya datang membawa tas besar dan berasal dari Jawa adalah orang yang membawa dagangan seperti penjual baju, sepatu, mainan, tukang foto, tukang jahit, dan sebagainya. Di desa kepulauan dengan akses terbatas seperti Pelita ini, memang begitulah cara orang berdagang dan membeli barang.Tidak ada swalayan atau toko kelontong. Jadi setiap ada “mas dari jawa” yang datang membawa dagangan, pasti dermaga desa langsung ramai oleh warga yang ingin membeli ataupun orang yang hanya sekedar terlarut dengan antusiasme yang lain.

Desa ini terletak di bibir pantai sisi Timur Pulau Mandioli. Luasnya hanya sekitar 1 Km2 dibatasi oleh laut, dan hutan di sekelilingnya. Di bukit-bukit di dalam hutan, banyak terdapat kebun-kebun milik orang Pelita. Mereka menanam sagu, kelapa, jagung, sayur-sayuran, singkong, dan tanaman kebun lainnya. Selain untuk dijual, hasil kebun mereka juga untuk makan sehari-hari. Jika kita dua jam berjalan kaki dari Pelita masuk ke dalam pulau Mandioli, ada sepasang air terjun yang dikenal orang Pelita dengan nama Air Terjun Laki-laki, dan Air Terjun Perempuan. Airnya sejuk dan jernih. Konon, tebing terjunan dua air terjun ini dulu membentuk wajah seorang laki-laki dan perempuan. Dan yang membuat air terjun ini lebih menarik lagi, kita bisa memanjat dan melompat dari tebing terjunannya. Di bulan pertama saya tinggal di Pelita, beberapa anak SD dan SMP mengajak saya melihat air terjun. Kami berjalan melewati jalan setapak di hutan dan beberapa kali istirahat minum setiap bertemu sungai kecil. Dan tentu saja kami minum dari air sungai kecil yang jernih dan sejuk itu.

Di muka air terjun laki-laki, dibangun semacam bendungan kecil agar bisa dijadikan tempat berenang bagi orang yang datang. Orang Pelita sudah menjadikan air terjun ini sebagai tempat piknik sejak lama sekali. Jika ada hari libur nasional atau liburan sekolah, air terjun adalah pilihan favorit orang Pelita. Ratusan orang bisa memenuhiair terjun ini menikmati kebersamaan yang memang terasa kental sekali pada orang-orang di desa kecil kebanyakan.

Keluarga Besar

Mejalani setahun di Pelita, banyak hal unik yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Interaksi warga yang mengesankan saya pertama kali adalah sebuah kejadian sehabis ibadah sholat Jumat di suatu siang di mesjid desa. Ompala –begitu sebutan untuk Kepala Desa-, tiba-tiba bangkit sesaat setelah shalat Jumat berakhir dan berdiri menghadap jamaah yang diantaranya juga ada barisan perempuan di paling belakang. “Bapak-bapak dan Ibu-ibu semua, besok hari Sabtu kita semua tidak ada yang boleh kerja kebun atau mencari ikan. Besok semua libur dari pekerjaannya. Kita akan bergotong-royong mengambil pasir dari Pulau Ambatu untuk keperluan renovasi mesjid kita ini.” Lalu semua mengiyakan titah kepala desa ini dengan khas suara lantang orang Maluku Utara dengan berkata “Ole! Ole!” (iya! Iya!). Ini seperti yang saya baca di buku PPKN dulu. Kepala Desa dihormati dan memang dipandang sebagai seorang pemimpin, alih-alih hanya sebagai jabatan administratif. Di Pelita memang hanya saya dan guru-guru lain yang pekerjaannya terikat oleh aturan waktu. Selebihnya bekerja sebagai petani atau nelayan yang tidak punya bos yang mengatur jam kerja mereka setiap hari sehingga jika Kepala Desa memberi titah seperti pada sholat Jumat itu, semua akan menyanggupi dengan senang hati dan bersemangat.

Keesokannya, hari gotong royong. Pagi sekali saat saya keluar rumah untuk pergi mengajar terlebih dahulu di sekolah, warga yang terdiri dari bapak-bapak, ibu-ibu, dan pemuda sudah berkumpul di dermaga desa merencanakan strategi gotong royong hari itu sambil sarapan teh manis dan sagu yang disiapkan para ibu-ibu. Beberapa ketinting -perahu kecil selebar badan yang digerakkan motor kecil- milik warga disiapkan untuk bolak-balik mengangkut pasir dari pulau kecil di muka desa Pelita. Dari dermaga ke pintu masuk desa, karung-karung pasir akan dipikul oleh bapak-bapak dan pemuda dan disambung dengan ibu-ibu dan anak-anak perempuan yang siap dengan baskom, ember kecil, kaleng-kaleng susu untuk mengangkut pasir sedikit-sedikit ke mesjid yang berjarak 100 meter dari pintu masuk desa.

Hari itu entah kenapa saya tersenyum sepanjang hari menyaksikan orang-orang Pelita bergotong royong sambil berteriak (berbicara) penuh canda tawa dan sesekali bernyanyi lagu-lagu berbahasa Ternate. Sepulang mengajar, saya dan guru-guru lain bergabung dalam keceriaan Sabtu itu. Di Pelita, semua warga saling mengenal dengan baik. Suku mayoritasnya adalah suku Ternate dan hubungan kekerabatan antar sebagian besar penduduknya cukup dekat secara garis keturunan. Itu karena desa ini, menurut sejarahnya, dimulai oleh 8orang Ternate di awal tahun 1900-an yang merantau dengan perahu dayung lalu beranak-pinak di lahan yang sekarang bernama Desa Pelita.

Saya belajar banyak hal dari Desa Pelita. Salah satunya adalah tentang kebahagiaan dan kenikmatan sebagai seorang Indonesia. Keterpencilan Pelita, jaringan listrik PLN yang belum masuk, dan sinyal telepon seluler yang sangat sulit ditemukan ternyata memberikan saya visualisasi dari sifat yang mengalir dalam darah orang Indonesia: kekeluargaan dan gotong royong. Sifat asli itu memang akan selalu hidup, karena kita semua adalah keturunan orang-orang yang membangun negeri ini juga dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong.

Bebas Pengawet

Seumur hidup saya, rasa-rasanya baru dalam satu tahun selama di Pelita itu lah saya hidup dengan sangat teratur dan sehat. Tidak ada begadang bekerjasampai pagi karena tidak ada listrik mengalir yang bisa menemani aktivitas malam, setiap hari makan ikan segar pancingan dan sayur-sayur dari kebun yang diambil oleh ibu angkat saya, dan jam makan teratur karena aktivitas saya hanya di dalam desa kecil itu sehingga tidak ada istilah terlambat makan. Jika dulu saya makan ikandi Bandung, saya tidak pernah tahu dari mana ikan itu berasal, sudah berapa lama ikan itu mati, atau apa yang sudah mencemari ikan itu. Begitu pula dengan sayuran, hampir tidak pernah saya makan sayur yang saya tahu persis di mana sayuran itu ditanam. Tapi di Pelita, setiap hari saya makan makanan yang jelas dari mana asalnya. Ikan pasti dari hasil pancingan bapak atau orang pelita, dan sayur pasti dari yang diambil ibu di kebun. Suatu kali ibu angkat saya membuat gohu. Itu adalah nama masakan sejenis sashimi yang dibuat dari ikan mentah dengan kelapa parut dan bumbu tertentu. Saya sebetulnya tidak mau makan ikan mentah, tapi saat ibu membuat gohu dari ikan mentah pancingan bapak, saya coba makan dan ikannya terasa sangat manis, tanpa rasa dan bau amis sedikitpun. Kata ibu, itu karena ikannya benar-benar segar baru dipancing.

Di kesempatan lain di bulan-bulan awal saya, ada kisah tentang kue. Waktu itu hari Minggu pagi. Saya baru pulang dari kebun membantu bapak perbaiki pagar yang rusak diseruduk babi hutan. Lalu ibu menawari saya, “Dika, kamu mau sarapan kue Nagasari?” Yang saya tahu, Nagasari adalah kue bebahan dasar sejenis tepung yang di dalamnya ada potongan pisang dan dibungkus oleh daun pisang. Saya menjawab pada ibu,”Mau Bu, 3 buah ya!” Lalu ibu terlihat heran dan menyarankan saya untuk hanya makan satu Nagasari. Saya berpikir, “mungkin Nagasari yang ibu buat hanya ada sedikit, tak apa lah.”Sekembalinya ibu dari dapur membawa Nagasari untuk saya dan bapak, saya baru paham kenapa ibu hanya menyaranan saya untuk makan hanya satu Nagasari. Nagasari di Pelita ternyata kue yang tidak sama persis dengan Nagasari bayangan saya. Bedanya, Nagasari Pelita ini berukuran selebar piring makan dan di dalamnya bukan diisi dengan potongan pisang melainkan dua buah Pisang Raja utuh! Saat saya ceritakan bayangan tentang Nagasari di kepala saya pada ibu dan bapak, kami semua menertawai pagi hari yang hangat itu.

Karang dan Pulau Babating

Kehidupan di desa kecil seperti Pelita memang jauh sekali berbeda dengan Jakarta. Di Pelita waktu seolah tidak mengejar, tidak ada orang stress, semua kebahagiaan tercukupi oleh alam. Jika pagi hari hujan lebat, para petani bisa menunda berangkat ke kebun, jika sore hujan, para nelayan bisa mengganti jadwal “dinas” menjadi malam hingga dini hari. Saya belajar banyak dari kehidupan Pelita dimana orang-orang punya banyak waktu untuk orang lain, dan untuk syukuri alam Indonesia. Saya menikmati setiap detik di sana untuk belajar dan melihat Indonesia dari sudut lain yang tak terbayangkan sebelumnya.

Selain sepasang air terjun di dalam hutan, ada banyak sekali lokasi lain yang bisa dinikmati. Snorkeling merupakan aktivitas rutin saya bersama anak-anak di hampirsetiap akhir pekan. Tidak usah jauh, di sepanjang bibir pantai Pelita saja saya sudah puas menikmati beragam karang warna-warni dan tak terhitung ikan-ikan cantik yang sebelumnya hanya pernah saya lihat di akuarium atau di televisi. Ada juga satu pulau indah bernama Babating yang jadi tujuan kala warga Pelita punya perayaan khusus. Saya cukup beruntung karena menjelang akhir dari satu tahun penugasan saya di Pelita, warga dan anak-anak merencanankan piknik perpisahan ke Pulau Babating.

Piknik yang melibatkan orang se-desa seperti kali itu sudah sering dilakukan orang-orang Pelita jika ada yang dirayakan. Sehari sebelum piknik, ibu-ibu di Pelita punya tradisi berkumpul di rumah salah satu warga untuk memasak dan menyiapkan bahan makanan untuk bekal piknik desa. Yang laki-laki biasanya menyiapkan perahu motor dan alat-alat musik untuk dibawa saat piknik.

Waktu itu hari Kamis dan kebetulan tanggal merah di kalender. Sejak pagi sekali, murid-murid saya sudah menunggu di depan rumah saya tidak sabar untuk berangkat. Ibu-ibu mengisi perahu motor Pelita yang akan kami naiki dengan makanan dan minuman. Lalu orang-orang desa mulai ramai di dermaga bersiap untuk berangkat. Perjalanan ke Pulau Babating kami tempuh selama dua jam menggunakan dua perahu motor dari Pelita yang beriringan lengkap dengan riuh suara anak-anak bernyanyi. Saat itu, sekitar 200 orang warga Pelita, tua dan muda, ikut piknik ke Pulau Babating.

Kami merapat di salah satu sisi pulau yang membuat saya berdecak kagum. Seperti kebanyakan pantai di kepulauan Halmahera Selatan ini, pantai Babating juga tidak berombak besar. Saya ingat jelas saat itu seperti masuk ke dalam kolam renang rasanya. Dari bibir pantai Babating sampai kira-kira 70 meter ke arah laut, tinggi air laut hanya sebatas dada orang dewasa dengan pasir putih bersih sebagai alasnya. Airnya luar biasa bening. Kolam renang raksasa air asin itulah tempat kami berenang saat baru tiba. Menjelang siang, saya dan anak-anak juga warga yang lain naik ke pantai pasir putih yang cukupluas untuk bermain bola. Seperti punya pulau pribadi yang semua orang di dalamnya adalah orang yang saya kenal dekat, keluarga baru saya di Pelita.

Di tengah permainan bola, ibu-ibu berteriak memanggil rombongn untuk makan. Di pinggir pantai, di bawah pohon kelapa yang teduh, sudah siap berbagai ikan panggang, sagu, singkong rebus, pisang rebus, sayur daun singkong dan sayur bunga pepaya yang ditata rapi oleh ibu-ibu di atas taplak daun pisang yang disusun memanjang. Cantik sekali. Saat itu saya bahagia sekali di penghujung masa tugas di Pelita, terlebih karena suasana yang begitu hangat dan menyenangkan. Seperti liburan keluarga besar, besar sekali, yang mulai dari kakek nenek hingga cucu dan cicit hadir dan bersenang-senang bersama.

Rumah Kedua

Merasakan kehidupan Desa Pelita selama satu tahun, mengajar di sekolah, bersosialisasi dengan orang-orang Pelita, belajar berbagai macam tradisi dan kebudayaan baru, dan mensyukuri alam Indonesia, telah menjadikan Desa Pelita sebagai kampung saya. Kuatnya ikatan yang terbangun dari interaksi yang itens sebagai ciri khas kehidupan di desa kecil telah membuat saya menganggap orang-orang di Pelita sebagai keluarga saya, dan begitu juga sebaliknya.

Ini mungkin yang disebut dengan tenun kebangsaan, saat orang bersuku Minang yang lahir dan besar di Bandung seperti saya bisa merasakan hangatnya suasana rumah di desa kecil di timur Indonesia.Merajut tenun kebangsaan saat ini merupakan barang mahal di tengah berbagai peristiwa memprihatinkan yang kita alami sebagai bangsa yang kaya akan perbedaan. Menikmati Indonesia dari Pelita bernilai lebih dari sekedar melihat alam dan budayanya, tapi juga tentang mengenal saudara sebangsa yang sama-sama hidup dari tanah dan air Indonesia, di sepanjang nusantara.

Sekarang saya juga punya banyak keluarga baru. Saya punya bapak angkat bernama Rusdi, Ibu angkat bernama Sadia, dan adik-adik angkat bernama Hairil, Amrul, Suhaiba, dan Galang. Anak-anak di Pelita, murid-murid saya, yang dalam satu tahun sudah memberi saya segudang pelajaran berharga, kini sudah saya anggap adik sendiri. Juga setiap orang di Desa Pelita yang sudah terasa seperti saudara untuk saya.

Beberapa bulan sekembalinya saya ke Jakarta karena berakhirnya masa tugas saya di Pelita, saya mendapat telepon dari Pak Rusdi dari Pelita yang berhasil menemukan sinyal telepon seluler di bukit. Setelah saling bertanya keadaan dan melepas rindu, Pak Rusdi mengakhiri percakapan dengan bertanya, “kapan pulang lagi ke Pelita?” Lalu saya jawab, “insyaAllah tahun depan saya pulang lagi”. Setelah telepon berakhir, saya baru tersadar, Pak Rusdi bilang “pulang”, dan saya juga menjawab tanpa merasa ada yang janggal. Ya, memang tidak ada yang janggal karen sampai kapanpun Desa Pelita akan selalu jadi rumah kedua untuk saya.

Terimakasih Pelita, telah mengajarkan saya begitu banyak hal dari ujung republik ini, dan membuat saya belajar menjadi Indonesia.

3 comments:

cassia vera said...

halo dikaa! aku mampir, yaa :) nice blog.. izin aku masukkan dalam blogrollku...

mbakdan

Rahmat Danu Andika said...

Halo Mba Dan. Thanks. :)

An said...

"Kehidupan di desa kecil seperti Pelita memang jauh sekali berbeda dengan Jakarta. Di Pelita waktu seolah tidak mengejar, tidak ada orang stress, semua kebahagiaan tercukupi oleh alam."

Pemandangan dan pengalaman yang eksotik, mas Dika... Ada teman kampus An yang juga dari PM (angkatan V). Dia tinggal di Desa Waya, Kabupaten Halmahera Selatan. Maybe bersebelahan dengan desa mas Dika, yah ^_^