Tuesday, November 2, 2010

sumpah pemuda?

“Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, Tanah Air Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.”

Klaim macam apa itu? Siapa yang berani-beraninya membuat sumpah seberat itu? Atau, lihat saja kata-katanya, jangan-jangan itu sumpah serapah hanya agar kita –pemuda pemudi- sekedar mengakui? Tidak lebih..

Ada pula yang lain lagi, beberapa kali kami diingatkan oleh Pak Anies Baswedan, “ini adalah upaya melunasi janji kemerdekaan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa”. Siapa yang berjanji? Bukan saya yang jelas! Bukan kalian atau pak Anis sekalipun! Itu janji Bung Karno, Hatta dan kawan-kawannya pada zaman itu. Sekarang mereka dimana? Kenapa kita yang harus terbebani oleh sumpah-sumpah dan janji-janji itu? Kenapa kita yang tidak diikutsertakan dalam pembahasan rencana pencetusan janji-janji dan sumpah-sumpah itu harus menanggung besarnya tanggungjawab atas kalimat-kalimat itu?

Haha, kalau begitu sekalian saja kita salahkan nabi Adam dan Hawa atas buah Khuldi yang dimakannya. Yang menjerumuskan kita semua ke karut marut kefanaan dunia ini. Jadi kita bisa berlindung dibalik kejadian itu atas dosa-dosa kita. Pada suatu titik dalam hidup saya, pernah terlintas pertanyaan-pertanyaan konyol seperti diatas. Tapi saya sadar ternyata kita hidup sekarang di zaman kita, zaman yang sudah lengkap dengan segala kompleksitasnya. Tidak ada kebebasan untuk kita sebelum terlahir dalam hal memilih zaman yang kita akan hidupi toh? At least menurut apa yang saya yakini. Jadi, mengeluhkan kompleksitas zaman yang kita hidupi sekarang hanyalah akan melemahkan kita. It will just wasting our time energy . Lagi pula, adakah yang salah dari ini janji-janji dan sumpah itu? Saya berani bilang tidak.. Tidak ada yang salah. Itu adalah janji dan sumpah para pemberani di zamannya yang dengan ketulusan hati serta harapan terhadap Indonesia yang akan hidup ribuan tahun lagi. Indonesia maju. Jika kita hidup di masa itu apakah kita tidak akan punya harapan yang sama?

Sebenarnya kita selalu punya pilihan untuk mengambil kalimat-kalimat itu sebagai janji dan sumpah kita juga, atau untuk tidak peduli. Tapi dua pilihan itu jelas punya konsekuensi berbeda. Jika kita melihat itu sebagai sumpah dan janji yang harus ikut kita penuhi juga, maka tanggungjawab kita besar, sangat besar. Yang harus kita pelajari selama hidup untuk bisa mempertanggung jawabkan itu pun sangat banyak. Energi yang perlu kita keluarkan untuk itu pun akan sangat besar. Masalahnya selalu tinggal pada diri kita. Beranikah kita memandang itu sebagai tanggung jawab kita juga? Beranikah kita menerima sumpah dan janji-janji itu selayaknya sumpah dan janji yang kita ucapkan?

Keberanian. Saya yakin satu kata ini yang akan jadi kuncinya. Seorang bijak pernah bilang bahwa republik inipun didirikan oleh para pemberani, orang-orang yang belum pernah punya pengalaman mendirikan republik sebelumnya. Dan sampai kapanpun saya yakin, republik ini butuh pemuda-pemuda pemberani untuk bisa terus maju dan berkembang.

Jadi sekarang mari kita tanya pada diri kita masing-masing, pemberanikah kita? memang, selalu ada pilihan untuk menjawab “saya tidak harus jadi pemberani”, atau “saya tidak mau jadi pemberani”. Tapi mari kita pikirkan sedikit. jika kita terlalu takut untuk menjadi seorang yang berani karena kita sadar apa konsekuensinya, dan kita memilih untuk menutup telinga, mata dan hati untuk menerima sumpah-sumpah dan janji-janji para pendahulu kita tentang republik ini sebagai hutang yang harus dibayar, lalu apa? Jika kita mati kelak, lalu apa? Lalu siapa yang akan melunasinya? Mau berharap pada siapa? Jika tidak bisa menemukan jawabannya, atau tidak cukup tega untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan “ya, yang lain saja”, maka, mari bersama kita pikul tanggungan itu. Mari terus kembangkan potensi diri kita setinggi mungkin karena tenggungan itu ternyata tidak ringan. Tapi jika kita bisa menjawab pertanyaan—pertanyaan itu dengan santai tanpa rasa gelisah, mungkin kita bisa pulang, menarik selimut tinggi-tinggi, lupakan semua masalah bangsa ini.

Tapi saya masih yakin, seperti tulisan pak Anies, para ibu di Nusantara masih melahirkan anak-anak pemberani republik ini. jadi pemberani itu tidak sulit. Saya pikir hanya butuh keberanian. Ya toh?

Selamat hari Sumpah Pemuda,
Semoga Tuhan menjaga hati-hati kita untuk selalu berani, Amin..

mari benar-benar hidup

No comments: